Minggu, 24 Juni 2007

Berani Mengatakan Tidak

‘Bisnis pasir’ yang dilakukan Negara tetangga dengan mengeduk besar-besaran pasir laut Indonesia untuk memperluas wilayah negaranya telah berjalan dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun (sejak 1978). Ekspor pasir laut ke Singapura ini awalnya merupakan kebutuhan untuk pendalaman proyek pelabuhan Batam. Pendalaman alur pelabuhan ini dimaksudkan untuk memudahkan keluar masuk lalu lintas kapal di pelabuhan Batam. Untuk mewujudkan proyek ini, budget yang besar pun dibutuhkan. Di sisi lain Singapura saat itu sedang membutuhkan pasir laut dalam proyek reklamasi untuk memperluas wilayahnya. Maka terjadilah akat jual beli pasir laut antara pihak Otoritas Batam dengan Singpura karena dipertemukan dua kebutuhan tadi.
Pengelolaan dan pemanfaatan pasir laut di Provinsi Riau sudah dimuat dalam Kepres No. 41/1973 tentang penetapan wilayah usaha di Pulau Batam, dan diperkuat lagi dengan Surat Menteri Pertambangan dan Energi No. 370/K/MPE/1985 mengenai kewenangan pihak Otoritas Batam dalam pemberian izin penambangan pasir laut di kepulau tersebut. Kemudian pada 1976 muncul lah tujuh pemain besar dalam bisnis ini: PT Equator Reka Citra, PT Indoguna Yuda Persada, PT Barelang Sugi Bulang, PT Nalendra Bhakti Persada, PT Sangkala Duta Segara, PT Sugi Malaya, dan PT Citra Harapan Abadi, yang kesemuanya menjadi tangan kanan dalam proyek penjualan pasir laut ke Singapura.
Penjualan pasir laut tersebut pun terus berlanjut menjadi ajang bisnis. Para ‘cukong’ terus saja mengeruk pasir yang ada di beberapa pulau kecil di wilayah kepulauan Riau karena tergiur Dollar Singapura, tanpa perduli terhadap kerusakan lingkungan dan mengikisnya batas territorial kita. Karena harga yang harus bayar relatif murah, Singapura pun begitu menikmati bsinis ini.
Berasarkan data Kementerian Kelautan, akibat mengeruk pasir dari Indonesia, wilayah Singapura bertambah sekitar 20 % pada 2001. Luas negara yang melepaskan diri dari Malaysia pada 1965 ini pun bertambah dari 633 menjadi 760 kilometer persegi. Dan kalau melihat data dari Deperindag, diperkirakan lebih 60 % ekspor pasir laut ke Singapura tersebut ilegal. Penambangan pasir ilegal ini menyebabkan dalam satu tahun Indonesia secara ekonomi dirugikan sebesar Rp 2,25 triliun atau sekitar 248,89 juta dollar Singapura–angka yang sangat fantastis!
Proyek-proyek reklamasi yang sudah selesai dikerjakan oleh Singapura diantaranya Lapangan Terbang Changi I dan II, Proyek East Cost, Proyek Tanjung Rhu, Siloso Beach Resort (tempat yang dirancang untuk wisata di Pulau Sentosa). Penambahan wilayah ini dikemudian hari akan berdampak pada semakin luasnya wilayah laut teritorial negara yang berpenduduk 4 juta jiwa tersebut. Artinya, Indonesia sekarang harus bersiap-siap kehilangan pulau-pulaunya yang berada diperbatasan, karena akan masuk ke dalam wilayah territorial Singapura. Atau tenggelam karena kehabisan daratan. Konsekuensi lain yang harus ditanggung Indonesia adalah rusaknya ekosistem dan habitat kelautan. Hal ini tentu akan berdampak langsung terhadap kehidupan para nelayan di kepualaun Riau.
“Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali”. Mungkin hal itu yang lebih tepat dilakukan pemerintah saat ini. Pelarangan penjualan pasir laut dan pasir darat harus dihentikan dari sekarang. Karena ini sudah menyangkut masa depan wilayah teritorial bangsa Indonesia. Pemerintah harus berani mengambil langkah tegas, jangan berhenti hanya pada dataran wacana. Masyarakat saat ini sudah lelah dengan janji-janji palsu.
Jika Soekarno dulu berani mengatakan “go to hell with your aid” terhadap IMF. Maka Pemerintah sekarang harus berani mengatakan “tidak!” kepada Singapura. Demi kemaslahatan masa depan bangsa. Dan bagi para pengusaha yang terbukti terlibat dalam bisnis mafia ekspor pasir laut ini, harus segera diproses secara hukum. Ask not what your country can do for you, but ask what you can do for your country?

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Awalnya aku hanya suka membaca, tapi sejak umur berapa aku sudah tidak ingat lagi. Seiring berjalannya durasi waktu, aku sadar sekedar membaca tidaklah cukup dalam kehidupan yang hanya sesaat ini. Maka, mulailah aku menulis, menulis apa saja yang ingin aku tuliskan, sebab seorang penulis itu seperti seorang arkeolog yang aktivitasnya adalah mengumpulkan atau menggali fosil-fosil yang terpendam dalam tanah. Begitulah aku, akan kutuliskam setiap kali kutemukan penggalan-penggalan realitas yang ku temui di sepanjang ruas jalan kehidupan ini, biar di kehidupan mendatang apa yang ku tuliskan ini bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.

Arsip Blog

AKu

AKu
Menulislah, Nak!