Rabu, 10 Juni 2009

RESENSI BUKU

Judul Buku : Betapa Mudah Menulis
Karya Ilmiah
Penulis : Prof. Suyanto, Ph.D., Drs. Asep Jihad, M.Pd.
Penerbit : Eduka, Februari 2009
Tebal : ii + 177 Halaman

BANYAK orang mengatakan, bahwa menulis karya ilmiah itu susah. Tapi buku ini mengatakan sebaliknya, bahwa menulis karya ilmiah itu sebenarnya mudah dan gampang—tidak jauh berbeda dengan menulis karya non-ilmiah. Hanya saja, yang membedakan antara tulisan ilmiah dan non-ilmiah ada pada teknik dan metode penulisannya. Semisal, kalau dalam karya ilmiah biasanya kita hanya tinggal menuliskan gagasan apa yang ingin dituliskan, sedangkan dalam karya ilmiah ada rambu-rambu kepenulisan seperti dalam pemilihan kata, istilah ungkapan, hingga ke gaya bahasanya yang harus tepat, lugas, dan jelas. Perbedaan lainnya, dalam tulisan ilmiah terdapat prosedur pendekatan ilmiah yang meliputi; perumusan masalah; pengembangan hipotesis; pengumpulan dan analisis data; dan pengujian hipotesis.
Menulis, baik menulis karya ilmiah atau non ilmiah ibarat orang yang sedang berdayung. Bagaimana orang berdayung? Geraknya lamban, tidak usah tergesa-gesa, butuh waktu dan kesabaran. Dalam prosesi penyampaian gagasan, pikiran, atau pengalaman ke dalam bentuk tulisan umpamakanlah kita sedang mendayung—tidak saling berebut dengan waktu. Berdayunglah dan nikmati suasananya. Biarkan perahu pikiran kita bergerak pelan, berputar, maju, mundur, atau berhenti sejenak atau sedikit lebih lama.
Buku yang berjudul “Betapa Mudah Menulis Karya Ilmiah” ini tidak hanya sekadar menawarkan “resep” belaka, karya ini lahir melewati pengalaman dan pergumulan intelektual yang panjang Suyanto dan Asep Jihad di dalam dunia kepenulisan.
Beberapa teknik yang diajarkan dalam buku ini seperti tentang bagaimana merumuskan sebuah topik yang “menggigit” dan mengundang pembaca untuk membacanya lebih jauh. Cobalah perhatikan kalimat ini, topik: “Keracunan Tempe Bongkrek di Jawa Tengah,” bandingkan dengan topik dengan bunyi begini: “ Keracunan Tempe Bongkrek, Refleksi Kemiskinan di Pedesaan Jawa Tengah. Atau contoh lainnya, “Pariwisata Pasti Menguntungkan Negara,” menjadi: “Pariwisata Sumber Devisa Alternatif Tanpa Batas Bagi Negara.” Di antara dua contoh topik di atas coba bandingkan mana yang lebih menggugah minat atau emosi untuk membacanya? Tentu jawabnya yang kedua, bukan! Rahasianya, ada pada penggunaan kata. Topik yang efektif perlu dirumuskan dengan kata benda, karena itu hindarilah sebisa mungkin penggunaan kata kerja (halm. 16).

Menulis Sebagai Kesadaran Sejarah
Meminjam bahasanya Hernowo, menulis itu adalah untuk mengikat makna, yaitu upaya untuk mengabadikan pemahaman, ide, gagasan atau tentang apa saja yang kita temui dalam keseharian. Suatu hari Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan begini: “Ilmu itu seperti hewan buruan, dan tulisan adalah tali kekangnya. Maka, ikatlah hewan-hewan buruanmu dengan tulisan-tulisanmu.” Sayangnya, hanya segelintir orang yang mau mengikat (baca: menulis) ilmu dan gagasannya, akibatnya di masyarakat dan dalam pusaran dia akan dilupakan sejarah. Namun, berbeda andai dia mau menulis, gagasan, pemahaman dan semua ide-idenya akan tetap mengabadi. Namanya tidak akan lapuk dimakan waktu. Misalnya al Ghazali, beliau sudah meninggal pada tahun 1111 tapi karya-karyanya masih terus dibaca oleh gederasi sekarang. Atau ada Ibnu Khaldun yang menulis kitab Muqaddimah pada abad ke-13, di mana ide dan gagasannya hingga saat ini dan mungkin hingga saat-saat mendatang tetap berguna bagi peradaban umat manusia.
Abdullah Sumrahadi, dalam pengantar editor buku ini, mengatakan bahwa pikiran manusia ibarat lalu lintas yang ramai dan padat, yang jika tidak diatur dapat menimbulkan kemacetan, yaitu kemacetan berpikir. Untuk menghindari kemacetan berpikir ini menurut Sumrahadi adalah:” Perlu kiranya kemudian menurunkan dan mengatur beban kemacetan tadi ke dalam rekaman atau dokumentasi tekstual.” Masih menurut Sumrahadi, prosesi awal-awal menulis ibarat pengalaman pertama ketika ibu melahirkan, yang bagaimanapun susah dan sakitnya dua hal tersebut haruslah tetap dilahirkan (halm.ii-iii). Menulis dan juga dalam hal lainnya selalu ada yang pertama, menurut Suyanto untuk membiasakan menulis karya ilmiah bisa dibangun sama seperti aktivitas yang kita lakukan sehari-hari seperti makan, minum, tidur dan lain-lain. Kuncinya ada pada keilmuan yang kita miliki.
Sumbangan pemikiran yang ditawarkan oleh buku ini adalah bagaimana menulis dan mulai mentradisikan menulis karya ilmiah dengan mudah, yang menurut Suyanto, masyarakat kita masih terkena demam budaya dongeng yang dari ke waktu hanya berganti wujudnya saja...

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Awalnya aku hanya suka membaca, tapi sejak umur berapa aku sudah tidak ingat lagi. Seiring berjalannya durasi waktu, aku sadar sekedar membaca tidaklah cukup dalam kehidupan yang hanya sesaat ini. Maka, mulailah aku menulis, menulis apa saja yang ingin aku tuliskan, sebab seorang penulis itu seperti seorang arkeolog yang aktivitasnya adalah mengumpulkan atau menggali fosil-fosil yang terpendam dalam tanah. Begitulah aku, akan kutuliskam setiap kali kutemukan penggalan-penggalan realitas yang ku temui di sepanjang ruas jalan kehidupan ini, biar di kehidupan mendatang apa yang ku tuliskan ini bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.

Arsip Blog

AKu

AKu
Menulislah, Nak!