Selasa, 26 Juni 2007

Surat Tuan Putri (1)

Untuk Tuan Putri

Salam sejahtera selalu untuk Tuan Putri. Perkenalkan hamba seorang Panglima perang Tuan Putri. Cukup Tuan Putri memanggil hamba “Sang Panglima” saja. Mungkin hamba telah lancang dan berani karena menyurati Tuan Putri sendiri. Tak apalah, hamba sudah siap untuk menerima hukuman kalau Tuan Putri menghendaki. Bagi hamba keputusan Tuan Putri adalah suatu kehormatan.

Pernahkah Tuan Putri mendengar cerita tentang Cinderella? Hamba sering mendengar, katanya Tuan Putri menyukai dongeng. Dan, hamba pun yakin tuan putri pasti pernah mendengar cerita tentang Cinderella. Tuan Putri, dulu tak ada yang menyangka kalau Cinderella kelak akan menjadi menantu kerajaan hanya karen sepatu kaca. Begitu pun halnya dengan Sulaikha, tidak ada orang yang menyangka ksuaminya kelak adalah Yusuf, anak angkatnya sendiri.

Begitulah nasib Tuan Putri, tidak ada orang yang tahu pasti akan lembaran demi lembaran perjalan anak manusia. Satu-satunya yang pasti adalah tuan putri kelak akan mengandung anak-anak dari suami Tuan Putri. Dan Tuan Putri tidak bisa bernegosiasi dengan nasib agar suami tuan putri bisa mengandung anak-anak dari Tuan Putri. Inilah yang kita sebut dengan fitrah Tuan Putri, Fitrah dimana kami seorang prajurit harus maju ke medan perang demi mempertahankan tanah airnya. Dan fitrah dimana para perempuan menunggu altar pemujaan tuk mendoa’kan kemenangan kami.

Tuan Putri, bagi kami goresan pedang, tusukan tombak, dan tembakan busur panah adalah takdir sebagai seorang prajurit. Dan kami memang harus menerimanya. Lalu bagaimana dengan kaum perempuan, termasuk Tuan Putri sendiri? Apakah mereka menolak hanya dengan duduk memuja ditempat-tempat pemujaan? Dan menyediakan makanan sepulangnya kami dari medan pertempuran atau mengobati beberapa diantara kami yang terluka?

Tuan Putri, beberapa hari yang lalu, kami berpapasan dengan seorang perempuan dalam suatu perjalanan pulang menuju kemah-kemah. Dia menghentikan kami, katanya dia ingin bergabung tuk juga ikut bertempur. Dan hamba katakan tidak boleh padanya. “Sebilah keris tidak hanya tuk laki-laki!”, teriaknya dengan sorotan tajam pada Hamba. Kami hnya bisa saling menoleh, tidak tahu harus menjawab apa padanya.
“Siapa yang mengatakan kalau kami para perempuan hanya ditakdirkan hanya sebagai penghilang penat kalian”. Dia kembali melanjuti dengan sorotan dalam pada Hamba.

“Bisakah kami menebas leher mereka di dalam suatu peperangan?”, tanya hamba pada nurani.

Tuan Putri, di dalam bola mata mereka Hamba tidak pernah melihat api permusuhan. Tangan-tangan mereka terlalu halus untuk kami potong dan apabali tuk kami cincang . Dan rahim-rahim mereka terlalu mulia untuk kami tebas.
Hanya ini yang ingin hamba tuliskan. Suatu saat nanti hamba akan kembali menyurati Tuan Putri. Jaga kesehatan Tuan Putri dan doa’kan untuk kemenangan kami.

Sang Panglima

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Awalnya aku hanya suka membaca, tapi sejak umur berapa aku sudah tidak ingat lagi. Seiring berjalannya durasi waktu, aku sadar sekedar membaca tidaklah cukup dalam kehidupan yang hanya sesaat ini. Maka, mulailah aku menulis, menulis apa saja yang ingin aku tuliskan, sebab seorang penulis itu seperti seorang arkeolog yang aktivitasnya adalah mengumpulkan atau menggali fosil-fosil yang terpendam dalam tanah. Begitulah aku, akan kutuliskam setiap kali kutemukan penggalan-penggalan realitas yang ku temui di sepanjang ruas jalan kehidupan ini, biar di kehidupan mendatang apa yang ku tuliskan ini bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.

Arsip Blog

AKu

AKu
Menulislah, Nak!