Sabtu, 12 Juli 2008

Aku dan Labirin Buku

Pagi ini buku-bukuku berceceran di lantai kamarku, sudah dua hari ini aku tak merapikan buku-buku itu. Sengaja kubiarkan buku-buku itu menumpuk dan terbaring tak rapi, dan ini bukan kebiasaanku tak memberesi buku-buku setelah selesai ku membacanya. Pagi ini seperti pagi-pagi biasanya aku terus asyik memasuki alam buku di kamarku yang sempit dan pengab karena bau kertas buku-buku. Biarlah bau dan pengap, aku tak ‘kan pernah membuang buku-buku ini. Karena, aku sudah terlanjur mencintai buku. Rasa cintaku pada buku seperti perasan Zulaikha pada Yusuf, dan sedalam cinta Romeo terhadap Juliet. Sebab, dari buku peradaban manusia itu dimulai.
Andai manusia tidak merekam atau enggan menuliskan apa yang telah diketahuinya mungkin sampai saat ini manusia masih berkelana dengan kuda atau unta. Masih menyeberangi lautan dengan perahu yang dirakit dari kayu atau bambu. Hanya bisa menatap burung-burung yang terbang melayang-layang di atas awan. Sekedar bisa melihat bintang-bintang dan tidak mengerti ada apa di luar bumi ini. Namun, buku telah membuka mata manusia dan mengantarkan menjelajahi jagat raya ini. Buku-lah yang telah menerbangkan manusia dari negara satu ke negara lain dalam hitungan detak jam. Perantara buku, lautan yang luasnya melebihi daratan kini dapat dijelahi saban waktu. Kalau tak ada buku manusia tidak akan pernah mengerti bahwa di luar bumi ini ada jagat yang bernama Bima Sakti. Manusia bukanlah apa-apa kalau tak ada buku.
Buku adalah ruang yang terkadang senyap, sepi, sunyi, dan juga labirin yang penuh dengan dinamika pertempuran-pertempuran sengit antara satu ide dengan ide-ide lainnya. Tetapi, sesunyi dan sepi apapun alam buku ia tak akan menjadikan penghuninya berpenyakitan mental. Dan, sedahsyat apapun pertarungan di alam buku ia tak akan mengantarkan petarungnya pada kematian. Bahkan, pertarungan antara satu teks dengan teks lainnya memicu otak untuk terus memikir, menelaah, dan merenungkan. Karena buku, si dungu berubah menjadi cerdik-tauladan karena ia menjadi pengunjung setia labirin buku. Seperti, seorang petarung legendaris Jepang, namanya Miyamoto Musashi (1584-1645), mulanya sebelum Musashi bertemu dengan buku ia seorang pemuda yang tak disenangi dan dibenci oleh orang-orang di kampungnya, namun setelah pendeta Takuan mengurungnya selama sekian musim di dalam ruangan yang hanya ada buku-buku sekarang dia menjadi tokoh inspirasi orang-orang Jepang modern. Demikian juga, Alexander Graham Bell (1847-1922) dengan penemuan telponnya mengantarkan manusia pada era telekomunikasi adalah karena ia berteman dengan buku. Di tahun 1879 sebuah penemuan menggantikan lampu teplok ke lampu pijar itu karena Thomas Alva Edison (1847-1931) menyukai dunia buku. Averous, orang Islam memanggilnya Ibn Rusyd, buku-bukunya telah menyelamatkan kekerdilan cara berpikir manusia dengan berpikir mendalam dan kritis. Imam Bukhiri, Ibn Majah, Imam Tirmidhi, Imam Nasa’i, Imam Tabrhoni, Imam Hakim dan imam-imam pengumpul hadist lainnya adalah berkat buku-bukunya mereka menjadi penyambung sunnah Rasulllah dari masa ke masa. Ruang masa lalu dan waktu masa depan dapat ditembus dengan buku, walau kita hanya duduk di dalam kamar atau perpustakaan. Begitulah labirin buku, sebuah ruangan yang dapat mempertemukan kita dengan orang-orang yang hidup di masa lalu, dan sebuah lorong yang akan mengantarkan manusia pada rumah masa depan yang tercerahkan.
***
Tak terasa dua jam lebih lamanya aku terjebak di dalam labirin buku, suara kokokan ayam kini hanya terdengar satu dua kali saja, bunyi kicau burung-burung sudah tak terdengar lagi, dan suara obrolan para tetangga mulai menembus bilik-bilik kamarku. Matahari sudah setinggi tower telpon atau pemancar radio. Itu artinya, aku harus segera ke luar dari sini. Tapi di mana pintu jalan keluarnya?
Aku berlari mencari pintu keluar, lorongnya begitu panjang dan nampak tak berujung. Aku terus berlari kencang sambil tengok ke kanan dan ke kiri tuk mencari pintu keluar. Setelah cukup lelah berlari dan berputar-putar lalu ku temukan dua ruas jalan, ke arah kiri dan jalan ke kanan. Sejenak aku diam, menimang-nimang ke arah lorong mana yang harus aku ambil. Akhirnya, kuputuskan memilih belok ke kanan. Dan, lima meter dari belokokan lorong itu aku bertemu dengan Abu Hayyan al Tawhidi (w. 414 H./1023 M.) yang meninggal disiksa karena buku-bukunya, di sana aku juga disapa oleh Imam Al-Nasa’i (w. 309 H./915 M) yang juga sama disiksa dan meninggalkan karena buku-bukunya, dan aku juga bertemu dengan Einstein yang mengejekku dengan menjulurkan lidah sambil membelalakkan ke dua matanya dengan rambut yang acak-acakan.
Kini, sudah ku temukan pintu keluar dari lorong buku, namun ketika kutengah memutar ke kanan kunci pintu labirin itu tiba–tiba seseorang berlari ke arahku, katanya namanya Soe Hok Gei (1942-1969). Dia beterima kasih pada anak bangsa ini yang telah mem-buku-kan catatan hariannya. “Catatan Seorang Demonstran! Judul bagus, boleh juga. Aku menyukainya,” katanya sambil tersenyum padaku. “Aku juga suka, terutama puisimu yang kau tulis tanggal 11 November 1969 itu,” balasku. “Yang mana? aku sudah lupa itu.... ” dia terlihat bingung dan beberapa kali memukul-mukul pelan kepalanya dengan buku yang sejak tadi diapitnya “Atau, maukah kau membacakannya untukku,” katanya lagi. “Baiklah, tapi hanya sepenggal saja..sebab aku harus segera pergi,” pintaku. “Tidak masalah, “ balasnya dengan sebelah alis terangkat. “Begini kau menulisnya: Mari sini sayangku/kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku/tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung/kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak ‘kan pernah kehilangan apa.”
“Wow, puisi yang bagus”, seseorang dari belakang menepuk pundakku. Dia Pramoedya Ananta Toer. “Itu karya dia, “kataku menunjuk ke Soe Hok Gie.
“Yah, begitulah nak. Sebab itu kau harus menulis, selama kau tidak menulis, kau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah”, pesan Pram padaku. “Iya, aku akan menulis dengan kepala tegak tanpa mesti takut. Seperti kalian. Terima kasih,” kataku. Mereka tersenyum. Aku juga. Lalu aku segera pergi menuju ke pintu keluar dari labirin buku itu, dan besok pagi aku akan kembali ke dalam labirin buku itu lagi.Tunggulah.

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Awalnya aku hanya suka membaca, tapi sejak umur berapa aku sudah tidak ingat lagi. Seiring berjalannya durasi waktu, aku sadar sekedar membaca tidaklah cukup dalam kehidupan yang hanya sesaat ini. Maka, mulailah aku menulis, menulis apa saja yang ingin aku tuliskan, sebab seorang penulis itu seperti seorang arkeolog yang aktivitasnya adalah mengumpulkan atau menggali fosil-fosil yang terpendam dalam tanah. Begitulah aku, akan kutuliskam setiap kali kutemukan penggalan-penggalan realitas yang ku temui di sepanjang ruas jalan kehidupan ini, biar di kehidupan mendatang apa yang ku tuliskan ini bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.

Arsip Blog

AKu

AKu
Menulislah, Nak!