“Seperti matahari/Cinta ini tak seorang pun menciptanya/Bahkan kamu dan aku/Bahkan mawar/yang berguru pada musim/Serta para rahib /yang tekun menyimak wahyu”. Itulah cinta, ia adalah tamu yang terkadang datang tiba-tiba mengetuk pintu hati saat sedang terlelap, dan lalu pergi begitu saja saat mata tengah terjaga. Begitulah cinta, ia misteri, dan tak perlu kamu memikirkannya secara mendalam. Ikutilah kemana cinta menuntunmu, duduk hikmatlah bila cinta sedang bersabda padamu, dan lakukanlah bila cinta memerintahmu—sekalipun ia meminta pengorbananmu. Panggullah basoka hatimu dan ledakkanlah tubuhmu bila cinta memintamu bertaruh nyawa. Ketika aku mati/Dunia akan membisu soal diriku/Yang tersisa hanya sebuah kata; Aku pernah mencintai.
Aku manusia;Rindu rasa rindu rupa. Cinta dan manusia ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Manusia tanpa cinta atau cinta tanpa manusia semisal taman yang tak berpenghuni, atau seperti malam yang tanpa bintang dan purnama. Sebab itu, jatuh cinta bukanlah sebuah persoalan, tapi hidup tanpa cintalah yang menjadi persoalan. Dan, mengemis cinta bukanlah seorang perampok, namun penghujat cintalah yang mesti dihakimi. Menangis karena cinta bukanlah seorang yang cengeng, atau mungkinkah air mata diciptakan adalah karena manusia memiliki cinta?.
Cinta itu bisa didefinisikan, tetapi kita tidak pernah tepat mendefinisikannya. Konon, cinta itu ibarat air yang meluap setelah turun hujan lebat. Ia adalah luapan hati dan gejolaknya ketika rindu ingin bertemu dengan orang yang dicintainya. Ada juga yang mengatakan bahwa cinta itu adalah ketenangan dan keyakinan, artinya; jika seseorang telah jatuh cinta maka hatinya tidak akan lagi bertengger ke hati yang lain. Menurut pendapat yang lain cinta ialah sebuah bejana atau lainnya, yang menjamin keamanan. Cinta dalam pengertian ini menggambarkan bahwa seseorang yang jatuh cinta rela memikul beban yang berat demi orang yang dicintainya. Begitulah cinta, maknanya tidak pernah selesai diungkapkan sepanjang sejarah peradaban manusia. Hal ini, mungkin karena cinta itu adalah lautan yang bertepi, tidak pula berwarna, ketinggian maknanya lebih tinggi dari kejauhan bintang di angkasa sana, dan kemisteriannya lebih rumit dari bahasa sandi yang diciptakan oleh Davinci pada lukisan Monalisanya. Lagu-lagu cinta, puisi-puisi cinta, film-film cinta, novel cinta, talk show cinta, dan cinta-cinta lainnya adalah wacana yang tidak akan pernah habis untuk terus di gali. Ini mungkin karena cinta berada di dunia rasa, dimensi pengalaman, dan alam yang tidak bisa disentuh dan dilihat. Yang bisa dilakukan oleh anak manusia sekadar meraba-raba dimensinya.
Namun, sungguh disayangkan pabila makna cinta itu hanya sebatas menyatu dengan kertas-kertas—tidak melebur pada jiwa dan raga ini. Amat tidak bijak misalnya, kalau kita pandai menciptakan puluhan lagu atau puisi cinta, tapi apa yang kita dengar, lihat, katakan, dan lakukan sama sekali bukan atas nama cinta dan tak seindah karya-karya kita itu. Betapa elok bila aku, kamu, dia, dan mereka lakukan atas nama cinta—entah karena cinta pada Tuhan, kehidupan, atau atas nama cinta sesama manusia—dan bukan atas nama keegoisan masing-masing.
Sejenak marilah merenung penuh hikmat, memeriksa ulang atas apa yang telah kita lakukan selama ini pada dia, saya, mereka, dan diri kita sendiri. Hiruplah energi positif yang ada di alam ini, lalu keluarkan dengan perlahan seluruh energi negatif yang ada dalam diri ini. Lalu rasakanlah beberapa detik setelahnya, maka kita ‘kan merasakan ketenangan dan kedamaian di hati ini. Yah, itulah yang dipinta oleh cinta dari semua anak manusia, dan bukan justru sebaliknya.
Tanpa cinta, kemanusian tak akan mungkin ada, bahkan dalam waktu satu hari saja. Tidaklah disebut lonceng bila ia dibiarkan menggantung dan tidak pernah dibunyikan. Keberadaan lonceng itu sekadar hiasan belaka kalau ia masih terus bergantung membisu. Dan begitu dengan cinta, bukanlah cinta namanya kalau ia hanya disimpan dalam hati dan tak pernah coba diungkapkan. Ia baru cinta namanya kalau sudah dinyatakan, seperti: kupu-kupu baru dinamakan kupu-kupu kalau ia sudah lepas dari kepompongnya, atau sebelum anak ayam menetas ia masih disebut telur.
Bagas kehilangan Alex dalam film Alexanderia karena dia tidak mau jujur akan isi hatinya pada Alex, teman dekatnya sejak masih kanak-kanak. Dan begitu juga dengan Rahel dalam film Heart yang baru menyadari betapa Rahel selama ini mencintai Farel di waktu sosok Luna hadir dalam hari-hari Farel. Bagas dalam dalam film Alexanderia ialah tamsil lelaki yang tak menyadari bahwa perempuan itu butuh kepastian dan kejujuran. Sedangkan Rahel dalam Heart adalah gambaran seorang perempuan yang masih bepegang teguh bahwa perempuan tidak pantas mengutarakan isi hatinya terlebih dahulu.
Ketidakjujuran dan lebih memilih mencintai dengan diam-diam—seperti apa yang dilakukan Bagas dan Rahel seringkali berakhir dengan penyesalan dan kesedihan. Begitulah logika cinta. Dan, bersiaplah untuk menjadi Bagas dan Rahel yang lain bila loncengmu dibiarkan mengantung dan menunggu angin yang tepat untuk membunyikannya.
Sekedar kamu tahu bahwa aku mencintaimu. Mencintai tidaklah harus memiliki, demikianlah kata orang. Mencintai dan dicintai adalah hak setiap orang dan melanggar hak bila memaksakan orang lain untuk mencintai kita. Cukup katakan saja: Seperti gerimis; aku jatuh cinta perlahan-lahan.” Karena, yang terpenting dia mengetahui perasaanmu padanya dari bibirmu sendiri. Diamlah, tunggulah jawabannya. Dan jangan bersedih bila cintamu ditolak, sebab ada yang lebih menyakitkan, yaitu mencintai seseorang dan tak pernah memiliki keberanian untuk mengutarakannya. Atau katakan lagi: Aku tidak berharap kamu harus punya perasaan yang sama denganku, tetapi paling tidak kamu tahu bahwa aku mencintaimu”.
Kamu adalah siapa yang kamu cintai, dan bukan siapa yang mencintaimu. Mengapa Otsu dalam novel Musashi lebih memilih untuk menyerahkan seluruh hidupnya kepada Miyamoto Mushasi ketimbang pada tunagannya sendiri, Matahachi?
Otsu mencintai Mushasi bukan karena dia seorang samurai yang tidak terkalahkan, berbadan atletis, atau dianggap dia memiliki masa depan yang cerah karena banyak daimyo (tuan tanah) yang meliriknya. Dan begitu juga dengan Musashi, menyukai Otsu tidaklah karena ia pernah menyelamatkan hidupnya ketika di hukum oleh pendeta Takuan di pohon Kriptomeria Tua waktu itu. Tetapi, karena ada kecocokan jiwa antara pribadi Musashi dengan Otsu yang membuat cinta itu tercipta di hati mereka berdua.
Cinta sejati sama saja dengan hantu: seluruh dunia membicarakannya, namun cuma sedikit orang yang pernah melihatnya. Begitulah cinta sejati, sampai saat ini masih menjadi perdebatan antara ada dan tidak ada. Cinta sejati adalah cinta yang “sebenar-benarnya” terhadap seseorang. Misalnya, mungkin kekasihmu, tunangan mereka, atau suami dan istri kita bukanlah orang pertama yang singgah di hati ini, tetapi menjalin hubungan dengannya kamu merasakan menjadi kamu yang sebenarnya. Atau, dari sekian orang yang pernah hadir di hatimu sampai saat ini hanya ada satu orang yang selalu menjadi pengantar tidurmu, di saat kamu sedang makan sendirian kamu membayangkan dia sedang duduk manis di depanmu, atau ketika bagun dari tidur kamu berpikir seolah-olah dia yang telah membangunkanmu. Dan seandainya dia kini telah menjadi sahabat kamu akan merasakan ada pengakuan persahabatan yang berbeda dibanding pertemananmu dengan yang lain, misalnya: kamu dan dia masih sering mengingatkan untuk jangan lupa makan atau jangan tidur terlalu larut malam. Kamu dan dia masih takut untuk saling menatap dan memilih saling melempar pandang ke arah yang lain. Atau kamu terkadang membayangkan; seandainya suatu hari kamu berbaring di rumah sakit kamu berharap dialah yang menungguimu; atau bila dia yang sedang berbaring di sana, pastilah kamu orang pertama yang akan menjaganya sampai dia sembuh. Kepedulianmu dan perhatian dia padamu tidak dengan sentuhan atau pelukan, tapi hanya lewat doa’.
Akhirnya, cintailah dan pilihlah dia yang bisa menjadi makmummu; atau dia yang bisa kamu jadikan imam. Jika tempo hari cintamu tumbuh karena adanya pertemuan yang tekun, kini cintai dan pilihlah sesorang yang memang layak kamu cintai, sebab hidup ini terlalu singkat jika dihabiskan bersama dengan pilihan yang salah. Kalau dulu kamu menerima dia adalah karena dia mengatakan: “Aku suka kamu”, yang lalu kamu membalasnya: “Iya, aku terima cintamu”. Kini lakukanlah bahwa mencintai itu adalah sebuah pertanggung jawaban; tanggung jawab untuk saling menjaga, tanggung jawab untuk saling menghormati, tanggung jawab untuk saling berbagi, tanggung jawab untuk saling menyayangi, tanggung jawab untuk tidak saling membohongi, tanggung jawab untuk saling peduli, dan tanggung jawab untuk saling menjaga kehormatan masing-masing. Sehingga, tidak ada lagi kabar di headline-headline koran atau berita di media massa tentang penemuan seorang anak yang hanya mau enak tapi tak mau anak.
Sabtu, 12 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Link
Mengenai Saya
- Mohammad Nizar
- Awalnya aku hanya suka membaca, tapi sejak umur berapa aku sudah tidak ingat lagi. Seiring berjalannya durasi waktu, aku sadar sekedar membaca tidaklah cukup dalam kehidupan yang hanya sesaat ini. Maka, mulailah aku menulis, menulis apa saja yang ingin aku tuliskan, sebab seorang penulis itu seperti seorang arkeolog yang aktivitasnya adalah mengumpulkan atau menggali fosil-fosil yang terpendam dalam tanah. Begitulah aku, akan kutuliskam setiap kali kutemukan penggalan-penggalan realitas yang ku temui di sepanjang ruas jalan kehidupan ini, biar di kehidupan mendatang apa yang ku tuliskan ini bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar