Sabtu, 12 Juli 2008

Aku, dan Putri Labirin buku

Matahari sudah setinggi pohon rambutan di depan kontrakanku, cahayanya sudah memeluk kaki-kaki langit, sementara aku baru saja memasuki labirin buku. Ini tidak seperti pagi biasanya, ini pagi yang termales untuk berkunjung ke labirin buku, padahal pagi kemarin aku sudah berjanji tuk kembali lagi ke sini. Jutaan buku yang berjejer dan tertata rapi di dalam labirin itu tak ada satupun yang menarik untuk aku baca.
“Aku ingin tidur saja”, kataku dalam hati. “Hari ini aku tidak mau membaca”, aku membatin. “Menyebalkan bertemu dengan buku melulu,” kali ini aku berkata agak sedikit keras. Dan, sesaat itu pula tiba-tiba seorang perempuan, ia lumayan cantik, tidak terlalu gemuk juga tidak terlalu kurus, aku panggil dia peri labirin buku, dia senyum padaku, dan tanyanya: “Apa jadinya kehidupan kalau tak ada buku?” Aku terhenyak, dan lampu-lampu yang mengantung dan menempel di dinding labirin itu bekerjab-kerjab beberapa kali. Aku diam. Lalu, terlempar ke masa lalu—tahun 1492. Aku menyaksikan tentara-tentara Salib membunuh puluhan atau mungkin jutaan orang muslim di Andalusia. Aku meringis. Hatiku serasa seiris beling. Namun, tak ada yang mengalahi semua kesehedihanku ini selain menyaksikan jutaan buku di bakar ludes di lapangan Grananda.
Aku terus berjalan, melangkahi mayat-mayat yang bergelimpangan bersimbah darah, abu-abu buku bergenang menyatu dengan darah, warnanya hitam kecoklatan dan setinggi lututku. Senyap-senyap aku mendengar suara seseorang antah dari mana: “Langkah pertama untuk menaklukan sebuah masyarakat adalah dengan memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-bukunya, kebudayaan dan sejarahnya. Lalu perintahkan seseorang untuk menulis buku-buku baru, ciptakan budaya baru dan tulis sejarah baru. Tak akan lama, masyarakat itu akan lupa sejarah masa kini dan masa lalunya.”
Aku tidak bisa membayangkan kesedihan Khalifah Al-Ma’mun (786-833) andai menyaksikan apa yang kulihat ini. Tapi aku tahu, dia pasti akan sedih, dan mungkin seketika ini juga akan pingsan. Sebab, Al-Ma’mun telah mengumpulkan ribuan buku dari seluruh penjuru dunia, dia mengirimkan sarjana-sarjana terbaiknya untuk belajar dan membeli buku-buku. Ribuan buku terhebat dari Yunani, Persia, dan Sansekerta diterjemahkan ke bahasa Arab. Itu karena dia saking cintanya pada buku. Dan bahkan, Al-Ma’mun tidak tanggung-tanggung akan membayar dengan mas seberat buku yang diterjemahinya. “Tuan, bila keharuman peradaban Islam bermula dari buku, maka kepudaraannya juga karena hilangnya buku,” aku membatin, menangkap dan menyelami kesedihan Al-Ma’mun dari dalam kuburnya. Dia pasti menangis di sana, tapi hanya bisa menangis, sebab yang mati hanya bisa meratapi, tak bisa melakukan apapun—seperti para napi di dalam sel penjara.
Tak terasa aku jatuh tersungkur. Lututku lemas terkulai. Darah dalam batok kepalaku panas rasanya. Denyut jantungku berdegub kencang. Dan aku kembali mendengar suara senyap-senyap: “Setelah Al-Ma’mun tiada, para pemimpin Islam berubah dari kutu busuk menjadi buaya, harem dengan ribuan selirnya lebih disukai ketimbang perpustakaan. Bercengkrama dengan wanita lebih disenangi daripada berdiskusi. Hati dan pikirannya sesak dengan lekuk tubuh wanita. Dan buku tak lagi punya ruang dalam lubuk hati dan otaknya. It’thifadhah Imajinasi para lelaki dikotori oleh seks dan khamar.” “Cukup, cukup.....” pintaku kepada suara senyap itu sambil menangis. “Hentikan, aku tidak kuat.........” kataku lagi dengan suara sangau. Aku menangis, menangisi buku-buku yang menjadi abu itu, dan menangisi mereka yang telah meninggalkan buku.
Peri labirin buku itu tiba-tiba mengembalikan aku lagi ke masa kini: “Kamu menangis! Kenapa kamu menangis?” Aku tersadar dari lamunan: “Tidak!” Lalu aku melanjuti: “Aku ingin menangis, tapi tidak tahu kenapa?” Sang peri tersenyum: “Aku juga sering menangis, dan kalau aku mau menangis ya udah aku nangis aja.” “Tapi, aku gak biasa menangis,” balasku—sambil menarik sebuah buku dari rak, Judulnya Va dove ti porta il euore: Pergilah Ke mana Hati Membawamu—Susana Tamoro. “Itu buku bagus buat seseorang yang bimbang menghadapi hidup, coba kau baca kata-kata dicover belakangnya itu,” katanya sambil menarik buku La Tahsan dari rak sebelahku, dan aku kemudian membacanya penuh penghayatan: “Dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu dan kau tak tahu jalan mana yang harus kauambil, jangalah memilih dengan asal saja, tetapi duduklah sesaat. Tariklah napas dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan, seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan biarkan apa pun mengalihkan perhatianmu, tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi. Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu. Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklaklah dan pergilah ke mana hati membawamu...”.
“Filosofis sekali, padat dan berisi, aku suka buku ini. Tapi sayang aku harus segera pulang, ini sudah jam 11. 38, apalagi aku masih belum mandi lagi,” kataku pada peri labirin buku itu. “Sayang sekali, padahal aku punya cerpen bagus buat kamu,” jawabnya sambil memeluk buku La Tahsan. “Hmmm, kalau boleh tahu apa judulnya?” pintaku dan kembali meletakkan karya Susana Tamoro itu. “Surat Buat Sahabat; Maaf Aku Telah Mencuri Malam Minggu Pertamamu,” jelasnya. “Boleh juga, ya udah besok saja aku bacanya,” kataku. “Sayang sekali kau harus menunggu besok tuk membacanya, padahal kau bisa menyelesaikan hanya dalam 5 menitan saja hari ini,” godanya. “Tapi aku masih banyak kerjaan....,” balasku. “Ya udah, sampai jumpa besok pagi, di sini di labirin buku,” katanya, kemudian dia terus melangkah, lalu dia menghilang dari balik tikungan.

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Awalnya aku hanya suka membaca, tapi sejak umur berapa aku sudah tidak ingat lagi. Seiring berjalannya durasi waktu, aku sadar sekedar membaca tidaklah cukup dalam kehidupan yang hanya sesaat ini. Maka, mulailah aku menulis, menulis apa saja yang ingin aku tuliskan, sebab seorang penulis itu seperti seorang arkeolog yang aktivitasnya adalah mengumpulkan atau menggali fosil-fosil yang terpendam dalam tanah. Begitulah aku, akan kutuliskam setiap kali kutemukan penggalan-penggalan realitas yang ku temui di sepanjang ruas jalan kehidupan ini, biar di kehidupan mendatang apa yang ku tuliskan ini bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.

Arsip Blog

AKu

AKu
Menulislah, Nak!