Sabtu, 12 Juli 2008

Surat Untuk Sahabat Tentang Tuhan dan Persahabatan

Assalamualaikum warahmatullah teman-teman seperjuangan semua. Bagaimana kabarmu semua, masihkah darah revolusionermu semerah bendera itu, atau kini telah berubah menjadi abu-abu? Semoga tidak. Sahabat, masihkah kau saling berdebat atau memperdebatkan tentang Tuhan sementara rumahNya jarang-jarang kau datangi. Mungkinkah kau dan aku dapat berjumpa bila jarak kita dan Dia ada di bibir pantai yang tak searah? Dan, bagaimana Ia ‘kan menjawab harapan dan impian kita bila dering sms sekejap diangkat sementara suara adhan di toa-toa masjid tak masuk ke kedua lubang telinga ini. Tidak bisakah kau dan aku sejenak berhenti tidak berbicara atau menjelaskan tentang siapa Dia sebab tak ada penjelasan final tentang pengungkapan jati diriNya. Karena, Tuhan bukanlah gulanya, tapi Ia rasa manis itu sendiri. Tuhan bukanlah penjelasan, tapi Ia adalah pengalaman. Kedekatan antara kau, aku dengan Tuhan lebih tipis dari ujung rambut, (tetapi) kau dan aku membidik jarum sumpit pemikiran terlalu jauh dari sasaran.
Immawan dan Immmawati, posisi akal atas agama adalah seperti cerita Musa yang tidak terima saat Khidir melubangi perahu, dan marah besar ketika Khidir membunuh seorang anak kecil. Namun, Musa membisu saat mengetahui bahwa melubangi perahu adalah menghindari tatapan para perampok yang mengincar perahu terbagus untuk direbutnya. Dan, nalar musa takluk tak bisa menangkap masa depan ayah-ibu sang anak itu bila ia dibiarkan terus hidup. Itulah Musa, ia mewakili logika dan Khidir mewakili dimensi ketuhanan, yang pada akhirnya Musa (logika) takluk di bawah penjelasan Khidir (spitulitas).
Andai agama itu bedasarkan penjelasan akal, maka membasuh bagian bawah sepatu lebih pantas diusap daripada bagian atasnya (law kanad dhinu bil aqli, lhakana asfhala khoffi awla bil maskhi min ‘alahu).
Sahabat, masih pantaskah kau dan aku mengaku “anggun dalam moral” bila salam dan jabat tangan sudah asing setiap kali berpapasan atau berjumpa di dalam suatu perjamuan. Tidak malukah kau dan aku kepada para pendahulu jika “unggul dalam intelektual” hanya pengakuan kata tapi laku tidak tercipta. Kau dan aku tak terhitung sudah saling membincangkan di balik pintu-pintu kamar soal ketidakbecusan diri kau, diriku, dirinya, dan mereka punya tradisi. Sementara kau dan aku tidak tahu ukuran pasti baju ukuran masing-masing. Lantas, di mana keanggunan itu mengendap, dan terkunci dimanakah keintelektulan itu membatu?
Ilmu yang tidak diamalkan ibarat pohon yang tidak memiliki buah ( Alilmu bhila amalin khasajarathi bila samrhatin).
Sahabat, mungkin suratku ini terlalu kasar aku tuliskan untukmu, tapi itulah kegundahan perasaan seorang teman yang dulu aku, kau, dia, dan mereka duduk bersama melingkari semampan nasi dengan lauk sate tempe itu. Kau bahagia, aku juga, dan semua senang seusai kita pulang setelah empat hari dikurung di tempat yang terpencil itu. Dan sejumpanya esok pagi di lorong-lorong kampus itu kau dan aku saling berjabat tangan, diskusi, lalu makan siang bersama. Namun seiring berjalannya waktu, kau dan aku mulai berjarak karena aku menghalangi kepentinganmu, dan kau menghalangi kebutuhanku. Dan kau tidak lagi mau berjabat tangan denganku terkecuali bila aku yang memulainya, dan begitu juga aku, enggan mengulurkan bila kau tidak terlebih dahulu menyalamiku. Dulu kau dan aku, dalam radius seratus meter dapat saling menangkap kehadiran, tetapi kini, jarak lima langkah kau dan aku seperti orang asing yang tidak saling mengenal. Dulu kau hampir setiap waktu menanyaiku apakah aku sudah makan atau belum, namun kini, kau berpura tak mengerti kalau sedari tadi aku menganjal perut menahan lapar.
Sahabat, sepertinya aku harus sudahi dulu suratku ini—padahal ada banyak hal yang ingin aku tuliskan padamu, tapi berhubung Ibu yang tengah memasak di dapur sudah berkali-kali berteriak memanggilku terpaksa aku harus segera ke sana. Sepertinya Ibuku akan memarahiku lagi karena semalam aku lupa menutup kuat lemari tempat menyimpan ikan bandeng oleh-oleh nenek kemarin. Pasti kucing merah milik tetangga sebelah itu yang telah memakannya. Semoga Tuhan membuka hatimu dan pikiranku lagi. Biar esok pagi kau dan kau bisa bersama-sama lagi mengibarkan bendera merah kita di tanah yang keras dan gersang itu. Dan diriku dan engkau siap membeku bila ada yang ingin merusak taman dan mencabuti bunga melati itu. Terima kasih dan maaf mendalam. Kutunggu balasanmu.

Salam


Ini aku sahabatmu, M. Nizar

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Awalnya aku hanya suka membaca, tapi sejak umur berapa aku sudah tidak ingat lagi. Seiring berjalannya durasi waktu, aku sadar sekedar membaca tidaklah cukup dalam kehidupan yang hanya sesaat ini. Maka, mulailah aku menulis, menulis apa saja yang ingin aku tuliskan, sebab seorang penulis itu seperti seorang arkeolog yang aktivitasnya adalah mengumpulkan atau menggali fosil-fosil yang terpendam dalam tanah. Begitulah aku, akan kutuliskam setiap kali kutemukan penggalan-penggalan realitas yang ku temui di sepanjang ruas jalan kehidupan ini, biar di kehidupan mendatang apa yang ku tuliskan ini bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.

Arsip Blog

AKu

AKu
Menulislah, Nak!