“Bro, seandainya waktu tinggal satu hari lagi, gimana?
Gak kebayang jutaan manusia melakukan apa di sisa waktu itu.
Kalo kamu mau ngelakuin apa?”
Kata-kata tersebut tiba-tiba menyelinap masuk ke dalam inbox Hpku, di kirim salah seorang teman dekat yang kini tengah mengejar impian dan harapannya di Jakarta.
Apa yang akan aku lakukan jika waktuku hanya tinggal sehari saja? Haruskah aku mengunjungi semua orang terdekatku, memeluk dan mendekap erat dia yang paling kusayangi, pergi ke masjid atau moshola lalu duduk hikmat sambil berzikir atau membaca kitab suci, atau aku tidur saja tuk membunuh rasa takut di menit-menit terakhirku?
Bagiku, satu hari terlalu singkat untuk mengatakan salam perpisahan ke semua orang terdekat atau yang pernah dekat denganku. Memeluk dan mendekap dia yang kusayangi air mataku tak cukup untuk menangis seharian, dan hatiku terlalu sempit untuk memuat berjuta kesedihan. Pergi ke rumah Tuhan untuk menyesali atau untuk mencari tambahan pahala lalu apa bedanya aku dengan koruptor-koruptor?, yang menyesal bila ingat dosa-dosa atau menyogok (beribadah seharian penuh) biar semuanya dimudahkan. Dan bila aku memilih tidur, maka aku akan kehilangan waktu untuk berkunjung; memeluk dan mendekap dia; dan taman hatiku akan bertambah gersang bila aku menjauh dariNya.
Aku, akan kujalani satu hari terakhirku seperti hari-hari biasanya; bila aku tidak sibuk akan kukunjungi ayah, ibu, adik, bibi, nenek, kakek, teman, dan juga tentu saja kamu; memeluk dan mendekapnya tentu bila dia sudah halal bagiku; mendatangi rumahNya bila telah masuk waktunya; dan aku akan tidur jika aku sudah kelelahan. Sebab, kehidupan itu seperti kuda di malam hari; semakin cepat larinya, semakin dekatlah pagi hari.
Selasa, 15 Juli 2008
Senin, 14 Juli 2008
Sepotong Sajak Di Hari Wisuda
Laula burudatul bahri, lal tahabtu ilaika syauqon
wa laula tasobburi, lathirtu amamaka hubban
mabruk 'ala najahika
bukan hanya bunga yang 'kan
ku berikan untukmu, tapi benih bunga
yang kau tanam dalam hati ini yang
'kan selalu ku jaga dan rawat seiring dengan
penghambaanku kepada Robku.
(dhuha, 14 Juni 2008).
wa laula tasobburi, lathirtu amamaka hubban
mabruk 'ala najahika
bukan hanya bunga yang 'kan
ku berikan untukmu, tapi benih bunga
yang kau tanam dalam hati ini yang
'kan selalu ku jaga dan rawat seiring dengan
penghambaanku kepada Robku.
(dhuha, 14 Juni 2008).
Sabtu, 12 Juli 2008
Aku, dan Putri Labirin buku
Matahari sudah setinggi pohon rambutan di depan kontrakanku, cahayanya sudah memeluk kaki-kaki langit, sementara aku baru saja memasuki labirin buku. Ini tidak seperti pagi biasanya, ini pagi yang termales untuk berkunjung ke labirin buku, padahal pagi kemarin aku sudah berjanji tuk kembali lagi ke sini. Jutaan buku yang berjejer dan tertata rapi di dalam labirin itu tak ada satupun yang menarik untuk aku baca.
“Aku ingin tidur saja”, kataku dalam hati. “Hari ini aku tidak mau membaca”, aku membatin. “Menyebalkan bertemu dengan buku melulu,” kali ini aku berkata agak sedikit keras. Dan, sesaat itu pula tiba-tiba seorang perempuan, ia lumayan cantik, tidak terlalu gemuk juga tidak terlalu kurus, aku panggil dia peri labirin buku, dia senyum padaku, dan tanyanya: “Apa jadinya kehidupan kalau tak ada buku?” Aku terhenyak, dan lampu-lampu yang mengantung dan menempel di dinding labirin itu bekerjab-kerjab beberapa kali. Aku diam. Lalu, terlempar ke masa lalu—tahun 1492. Aku menyaksikan tentara-tentara Salib membunuh puluhan atau mungkin jutaan orang muslim di Andalusia. Aku meringis. Hatiku serasa seiris beling. Namun, tak ada yang mengalahi semua kesehedihanku ini selain menyaksikan jutaan buku di bakar ludes di lapangan Grananda.
Aku terus berjalan, melangkahi mayat-mayat yang bergelimpangan bersimbah darah, abu-abu buku bergenang menyatu dengan darah, warnanya hitam kecoklatan dan setinggi lututku. Senyap-senyap aku mendengar suara seseorang antah dari mana: “Langkah pertama untuk menaklukan sebuah masyarakat adalah dengan memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-bukunya, kebudayaan dan sejarahnya. Lalu perintahkan seseorang untuk menulis buku-buku baru, ciptakan budaya baru dan tulis sejarah baru. Tak akan lama, masyarakat itu akan lupa sejarah masa kini dan masa lalunya.”
Aku tidak bisa membayangkan kesedihan Khalifah Al-Ma’mun (786-833) andai menyaksikan apa yang kulihat ini. Tapi aku tahu, dia pasti akan sedih, dan mungkin seketika ini juga akan pingsan. Sebab, Al-Ma’mun telah mengumpulkan ribuan buku dari seluruh penjuru dunia, dia mengirimkan sarjana-sarjana terbaiknya untuk belajar dan membeli buku-buku. Ribuan buku terhebat dari Yunani, Persia, dan Sansekerta diterjemahkan ke bahasa Arab. Itu karena dia saking cintanya pada buku. Dan bahkan, Al-Ma’mun tidak tanggung-tanggung akan membayar dengan mas seberat buku yang diterjemahinya. “Tuan, bila keharuman peradaban Islam bermula dari buku, maka kepudaraannya juga karena hilangnya buku,” aku membatin, menangkap dan menyelami kesedihan Al-Ma’mun dari dalam kuburnya. Dia pasti menangis di sana, tapi hanya bisa menangis, sebab yang mati hanya bisa meratapi, tak bisa melakukan apapun—seperti para napi di dalam sel penjara.
Tak terasa aku jatuh tersungkur. Lututku lemas terkulai. Darah dalam batok kepalaku panas rasanya. Denyut jantungku berdegub kencang. Dan aku kembali mendengar suara senyap-senyap: “Setelah Al-Ma’mun tiada, para pemimpin Islam berubah dari kutu busuk menjadi buaya, harem dengan ribuan selirnya lebih disukai ketimbang perpustakaan. Bercengkrama dengan wanita lebih disenangi daripada berdiskusi. Hati dan pikirannya sesak dengan lekuk tubuh wanita. Dan buku tak lagi punya ruang dalam lubuk hati dan otaknya. It’thifadhah Imajinasi para lelaki dikotori oleh seks dan khamar.” “Cukup, cukup.....” pintaku kepada suara senyap itu sambil menangis. “Hentikan, aku tidak kuat.........” kataku lagi dengan suara sangau. Aku menangis, menangisi buku-buku yang menjadi abu itu, dan menangisi mereka yang telah meninggalkan buku.
Peri labirin buku itu tiba-tiba mengembalikan aku lagi ke masa kini: “Kamu menangis! Kenapa kamu menangis?” Aku tersadar dari lamunan: “Tidak!” Lalu aku melanjuti: “Aku ingin menangis, tapi tidak tahu kenapa?” Sang peri tersenyum: “Aku juga sering menangis, dan kalau aku mau menangis ya udah aku nangis aja.” “Tapi, aku gak biasa menangis,” balasku—sambil menarik sebuah buku dari rak, Judulnya Va dove ti porta il euore: Pergilah Ke mana Hati Membawamu—Susana Tamoro. “Itu buku bagus buat seseorang yang bimbang menghadapi hidup, coba kau baca kata-kata dicover belakangnya itu,” katanya sambil menarik buku La Tahsan dari rak sebelahku, dan aku kemudian membacanya penuh penghayatan: “Dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu dan kau tak tahu jalan mana yang harus kauambil, jangalah memilih dengan asal saja, tetapi duduklah sesaat. Tariklah napas dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan, seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan biarkan apa pun mengalihkan perhatianmu, tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi. Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu. Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklaklah dan pergilah ke mana hati membawamu...”.
“Filosofis sekali, padat dan berisi, aku suka buku ini. Tapi sayang aku harus segera pulang, ini sudah jam 11. 38, apalagi aku masih belum mandi lagi,” kataku pada peri labirin buku itu. “Sayang sekali, padahal aku punya cerpen bagus buat kamu,” jawabnya sambil memeluk buku La Tahsan. “Hmmm, kalau boleh tahu apa judulnya?” pintaku dan kembali meletakkan karya Susana Tamoro itu. “Surat Buat Sahabat; Maaf Aku Telah Mencuri Malam Minggu Pertamamu,” jelasnya. “Boleh juga, ya udah besok saja aku bacanya,” kataku. “Sayang sekali kau harus menunggu besok tuk membacanya, padahal kau bisa menyelesaikan hanya dalam 5 menitan saja hari ini,” godanya. “Tapi aku masih banyak kerjaan....,” balasku. “Ya udah, sampai jumpa besok pagi, di sini di labirin buku,” katanya, kemudian dia terus melangkah, lalu dia menghilang dari balik tikungan.
“Aku ingin tidur saja”, kataku dalam hati. “Hari ini aku tidak mau membaca”, aku membatin. “Menyebalkan bertemu dengan buku melulu,” kali ini aku berkata agak sedikit keras. Dan, sesaat itu pula tiba-tiba seorang perempuan, ia lumayan cantik, tidak terlalu gemuk juga tidak terlalu kurus, aku panggil dia peri labirin buku, dia senyum padaku, dan tanyanya: “Apa jadinya kehidupan kalau tak ada buku?” Aku terhenyak, dan lampu-lampu yang mengantung dan menempel di dinding labirin itu bekerjab-kerjab beberapa kali. Aku diam. Lalu, terlempar ke masa lalu—tahun 1492. Aku menyaksikan tentara-tentara Salib membunuh puluhan atau mungkin jutaan orang muslim di Andalusia. Aku meringis. Hatiku serasa seiris beling. Namun, tak ada yang mengalahi semua kesehedihanku ini selain menyaksikan jutaan buku di bakar ludes di lapangan Grananda.
Aku terus berjalan, melangkahi mayat-mayat yang bergelimpangan bersimbah darah, abu-abu buku bergenang menyatu dengan darah, warnanya hitam kecoklatan dan setinggi lututku. Senyap-senyap aku mendengar suara seseorang antah dari mana: “Langkah pertama untuk menaklukan sebuah masyarakat adalah dengan memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-bukunya, kebudayaan dan sejarahnya. Lalu perintahkan seseorang untuk menulis buku-buku baru, ciptakan budaya baru dan tulis sejarah baru. Tak akan lama, masyarakat itu akan lupa sejarah masa kini dan masa lalunya.”
Aku tidak bisa membayangkan kesedihan Khalifah Al-Ma’mun (786-833) andai menyaksikan apa yang kulihat ini. Tapi aku tahu, dia pasti akan sedih, dan mungkin seketika ini juga akan pingsan. Sebab, Al-Ma’mun telah mengumpulkan ribuan buku dari seluruh penjuru dunia, dia mengirimkan sarjana-sarjana terbaiknya untuk belajar dan membeli buku-buku. Ribuan buku terhebat dari Yunani, Persia, dan Sansekerta diterjemahkan ke bahasa Arab. Itu karena dia saking cintanya pada buku. Dan bahkan, Al-Ma’mun tidak tanggung-tanggung akan membayar dengan mas seberat buku yang diterjemahinya. “Tuan, bila keharuman peradaban Islam bermula dari buku, maka kepudaraannya juga karena hilangnya buku,” aku membatin, menangkap dan menyelami kesedihan Al-Ma’mun dari dalam kuburnya. Dia pasti menangis di sana, tapi hanya bisa menangis, sebab yang mati hanya bisa meratapi, tak bisa melakukan apapun—seperti para napi di dalam sel penjara.
Tak terasa aku jatuh tersungkur. Lututku lemas terkulai. Darah dalam batok kepalaku panas rasanya. Denyut jantungku berdegub kencang. Dan aku kembali mendengar suara senyap-senyap: “Setelah Al-Ma’mun tiada, para pemimpin Islam berubah dari kutu busuk menjadi buaya, harem dengan ribuan selirnya lebih disukai ketimbang perpustakaan. Bercengkrama dengan wanita lebih disenangi daripada berdiskusi. Hati dan pikirannya sesak dengan lekuk tubuh wanita. Dan buku tak lagi punya ruang dalam lubuk hati dan otaknya. It’thifadhah Imajinasi para lelaki dikotori oleh seks dan khamar.” “Cukup, cukup.....” pintaku kepada suara senyap itu sambil menangis. “Hentikan, aku tidak kuat.........” kataku lagi dengan suara sangau. Aku menangis, menangisi buku-buku yang menjadi abu itu, dan menangisi mereka yang telah meninggalkan buku.
Peri labirin buku itu tiba-tiba mengembalikan aku lagi ke masa kini: “Kamu menangis! Kenapa kamu menangis?” Aku tersadar dari lamunan: “Tidak!” Lalu aku melanjuti: “Aku ingin menangis, tapi tidak tahu kenapa?” Sang peri tersenyum: “Aku juga sering menangis, dan kalau aku mau menangis ya udah aku nangis aja.” “Tapi, aku gak biasa menangis,” balasku—sambil menarik sebuah buku dari rak, Judulnya Va dove ti porta il euore: Pergilah Ke mana Hati Membawamu—Susana Tamoro. “Itu buku bagus buat seseorang yang bimbang menghadapi hidup, coba kau baca kata-kata dicover belakangnya itu,” katanya sambil menarik buku La Tahsan dari rak sebelahku, dan aku kemudian membacanya penuh penghayatan: “Dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu dan kau tak tahu jalan mana yang harus kauambil, jangalah memilih dengan asal saja, tetapi duduklah sesaat. Tariklah napas dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan, seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan biarkan apa pun mengalihkan perhatianmu, tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi. Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu. Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklaklah dan pergilah ke mana hati membawamu...”.
“Filosofis sekali, padat dan berisi, aku suka buku ini. Tapi sayang aku harus segera pulang, ini sudah jam 11. 38, apalagi aku masih belum mandi lagi,” kataku pada peri labirin buku itu. “Sayang sekali, padahal aku punya cerpen bagus buat kamu,” jawabnya sambil memeluk buku La Tahsan. “Hmmm, kalau boleh tahu apa judulnya?” pintaku dan kembali meletakkan karya Susana Tamoro itu. “Surat Buat Sahabat; Maaf Aku Telah Mencuri Malam Minggu Pertamamu,” jelasnya. “Boleh juga, ya udah besok saja aku bacanya,” kataku. “Sayang sekali kau harus menunggu besok tuk membacanya, padahal kau bisa menyelesaikan hanya dalam 5 menitan saja hari ini,” godanya. “Tapi aku masih banyak kerjaan....,” balasku. “Ya udah, sampai jumpa besok pagi, di sini di labirin buku,” katanya, kemudian dia terus melangkah, lalu dia menghilang dari balik tikungan.
Surat Untuk Sahabat Tentang Tuhan dan Persahabatan
Assalamualaikum warahmatullah teman-teman seperjuangan semua. Bagaimana kabarmu semua, masihkah darah revolusionermu semerah bendera itu, atau kini telah berubah menjadi abu-abu? Semoga tidak. Sahabat, masihkah kau saling berdebat atau memperdebatkan tentang Tuhan sementara rumahNya jarang-jarang kau datangi. Mungkinkah kau dan aku dapat berjumpa bila jarak kita dan Dia ada di bibir pantai yang tak searah? Dan, bagaimana Ia ‘kan menjawab harapan dan impian kita bila dering sms sekejap diangkat sementara suara adhan di toa-toa masjid tak masuk ke kedua lubang telinga ini. Tidak bisakah kau dan aku sejenak berhenti tidak berbicara atau menjelaskan tentang siapa Dia sebab tak ada penjelasan final tentang pengungkapan jati diriNya. Karena, Tuhan bukanlah gulanya, tapi Ia rasa manis itu sendiri. Tuhan bukanlah penjelasan, tapi Ia adalah pengalaman. Kedekatan antara kau, aku dengan Tuhan lebih tipis dari ujung rambut, (tetapi) kau dan aku membidik jarum sumpit pemikiran terlalu jauh dari sasaran.
Immawan dan Immmawati, posisi akal atas agama adalah seperti cerita Musa yang tidak terima saat Khidir melubangi perahu, dan marah besar ketika Khidir membunuh seorang anak kecil. Namun, Musa membisu saat mengetahui bahwa melubangi perahu adalah menghindari tatapan para perampok yang mengincar perahu terbagus untuk direbutnya. Dan, nalar musa takluk tak bisa menangkap masa depan ayah-ibu sang anak itu bila ia dibiarkan terus hidup. Itulah Musa, ia mewakili logika dan Khidir mewakili dimensi ketuhanan, yang pada akhirnya Musa (logika) takluk di bawah penjelasan Khidir (spitulitas).
Andai agama itu bedasarkan penjelasan akal, maka membasuh bagian bawah sepatu lebih pantas diusap daripada bagian atasnya (law kanad dhinu bil aqli, lhakana asfhala khoffi awla bil maskhi min ‘alahu).
Sahabat, masih pantaskah kau dan aku mengaku “anggun dalam moral” bila salam dan jabat tangan sudah asing setiap kali berpapasan atau berjumpa di dalam suatu perjamuan. Tidak malukah kau dan aku kepada para pendahulu jika “unggul dalam intelektual” hanya pengakuan kata tapi laku tidak tercipta. Kau dan aku tak terhitung sudah saling membincangkan di balik pintu-pintu kamar soal ketidakbecusan diri kau, diriku, dirinya, dan mereka punya tradisi. Sementara kau dan aku tidak tahu ukuran pasti baju ukuran masing-masing. Lantas, di mana keanggunan itu mengendap, dan terkunci dimanakah keintelektulan itu membatu?
Ilmu yang tidak diamalkan ibarat pohon yang tidak memiliki buah ( Alilmu bhila amalin khasajarathi bila samrhatin).
Sahabat, mungkin suratku ini terlalu kasar aku tuliskan untukmu, tapi itulah kegundahan perasaan seorang teman yang dulu aku, kau, dia, dan mereka duduk bersama melingkari semampan nasi dengan lauk sate tempe itu. Kau bahagia, aku juga, dan semua senang seusai kita pulang setelah empat hari dikurung di tempat yang terpencil itu. Dan sejumpanya esok pagi di lorong-lorong kampus itu kau dan aku saling berjabat tangan, diskusi, lalu makan siang bersama. Namun seiring berjalannya waktu, kau dan aku mulai berjarak karena aku menghalangi kepentinganmu, dan kau menghalangi kebutuhanku. Dan kau tidak lagi mau berjabat tangan denganku terkecuali bila aku yang memulainya, dan begitu juga aku, enggan mengulurkan bila kau tidak terlebih dahulu menyalamiku. Dulu kau dan aku, dalam radius seratus meter dapat saling menangkap kehadiran, tetapi kini, jarak lima langkah kau dan aku seperti orang asing yang tidak saling mengenal. Dulu kau hampir setiap waktu menanyaiku apakah aku sudah makan atau belum, namun kini, kau berpura tak mengerti kalau sedari tadi aku menganjal perut menahan lapar.
Sahabat, sepertinya aku harus sudahi dulu suratku ini—padahal ada banyak hal yang ingin aku tuliskan padamu, tapi berhubung Ibu yang tengah memasak di dapur sudah berkali-kali berteriak memanggilku terpaksa aku harus segera ke sana. Sepertinya Ibuku akan memarahiku lagi karena semalam aku lupa menutup kuat lemari tempat menyimpan ikan bandeng oleh-oleh nenek kemarin. Pasti kucing merah milik tetangga sebelah itu yang telah memakannya. Semoga Tuhan membuka hatimu dan pikiranku lagi. Biar esok pagi kau dan kau bisa bersama-sama lagi mengibarkan bendera merah kita di tanah yang keras dan gersang itu. Dan diriku dan engkau siap membeku bila ada yang ingin merusak taman dan mencabuti bunga melati itu. Terima kasih dan maaf mendalam. Kutunggu balasanmu.
Salam
Ini aku sahabatmu, M. Nizar
Immawan dan Immmawati, posisi akal atas agama adalah seperti cerita Musa yang tidak terima saat Khidir melubangi perahu, dan marah besar ketika Khidir membunuh seorang anak kecil. Namun, Musa membisu saat mengetahui bahwa melubangi perahu adalah menghindari tatapan para perampok yang mengincar perahu terbagus untuk direbutnya. Dan, nalar musa takluk tak bisa menangkap masa depan ayah-ibu sang anak itu bila ia dibiarkan terus hidup. Itulah Musa, ia mewakili logika dan Khidir mewakili dimensi ketuhanan, yang pada akhirnya Musa (logika) takluk di bawah penjelasan Khidir (spitulitas).
Andai agama itu bedasarkan penjelasan akal, maka membasuh bagian bawah sepatu lebih pantas diusap daripada bagian atasnya (law kanad dhinu bil aqli, lhakana asfhala khoffi awla bil maskhi min ‘alahu).
Sahabat, masih pantaskah kau dan aku mengaku “anggun dalam moral” bila salam dan jabat tangan sudah asing setiap kali berpapasan atau berjumpa di dalam suatu perjamuan. Tidak malukah kau dan aku kepada para pendahulu jika “unggul dalam intelektual” hanya pengakuan kata tapi laku tidak tercipta. Kau dan aku tak terhitung sudah saling membincangkan di balik pintu-pintu kamar soal ketidakbecusan diri kau, diriku, dirinya, dan mereka punya tradisi. Sementara kau dan aku tidak tahu ukuran pasti baju ukuran masing-masing. Lantas, di mana keanggunan itu mengendap, dan terkunci dimanakah keintelektulan itu membatu?
Ilmu yang tidak diamalkan ibarat pohon yang tidak memiliki buah ( Alilmu bhila amalin khasajarathi bila samrhatin).
Sahabat, mungkin suratku ini terlalu kasar aku tuliskan untukmu, tapi itulah kegundahan perasaan seorang teman yang dulu aku, kau, dia, dan mereka duduk bersama melingkari semampan nasi dengan lauk sate tempe itu. Kau bahagia, aku juga, dan semua senang seusai kita pulang setelah empat hari dikurung di tempat yang terpencil itu. Dan sejumpanya esok pagi di lorong-lorong kampus itu kau dan aku saling berjabat tangan, diskusi, lalu makan siang bersama. Namun seiring berjalannya waktu, kau dan aku mulai berjarak karena aku menghalangi kepentinganmu, dan kau menghalangi kebutuhanku. Dan kau tidak lagi mau berjabat tangan denganku terkecuali bila aku yang memulainya, dan begitu juga aku, enggan mengulurkan bila kau tidak terlebih dahulu menyalamiku. Dulu kau dan aku, dalam radius seratus meter dapat saling menangkap kehadiran, tetapi kini, jarak lima langkah kau dan aku seperti orang asing yang tidak saling mengenal. Dulu kau hampir setiap waktu menanyaiku apakah aku sudah makan atau belum, namun kini, kau berpura tak mengerti kalau sedari tadi aku menganjal perut menahan lapar.
Sahabat, sepertinya aku harus sudahi dulu suratku ini—padahal ada banyak hal yang ingin aku tuliskan padamu, tapi berhubung Ibu yang tengah memasak di dapur sudah berkali-kali berteriak memanggilku terpaksa aku harus segera ke sana. Sepertinya Ibuku akan memarahiku lagi karena semalam aku lupa menutup kuat lemari tempat menyimpan ikan bandeng oleh-oleh nenek kemarin. Pasti kucing merah milik tetangga sebelah itu yang telah memakannya. Semoga Tuhan membuka hatimu dan pikiranku lagi. Biar esok pagi kau dan kau bisa bersama-sama lagi mengibarkan bendera merah kita di tanah yang keras dan gersang itu. Dan diriku dan engkau siap membeku bila ada yang ingin merusak taman dan mencabuti bunga melati itu. Terima kasih dan maaf mendalam. Kutunggu balasanmu.
Salam
Ini aku sahabatmu, M. Nizar
--cinta--
“Seperti matahari/Cinta ini tak seorang pun menciptanya/Bahkan kamu dan aku/Bahkan mawar/yang berguru pada musim/Serta para rahib /yang tekun menyimak wahyu”. Itulah cinta, ia adalah tamu yang terkadang datang tiba-tiba mengetuk pintu hati saat sedang terlelap, dan lalu pergi begitu saja saat mata tengah terjaga. Begitulah cinta, ia misteri, dan tak perlu kamu memikirkannya secara mendalam. Ikutilah kemana cinta menuntunmu, duduk hikmatlah bila cinta sedang bersabda padamu, dan lakukanlah bila cinta memerintahmu—sekalipun ia meminta pengorbananmu. Panggullah basoka hatimu dan ledakkanlah tubuhmu bila cinta memintamu bertaruh nyawa. Ketika aku mati/Dunia akan membisu soal diriku/Yang tersisa hanya sebuah kata; Aku pernah mencintai.
Aku manusia;Rindu rasa rindu rupa. Cinta dan manusia ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Manusia tanpa cinta atau cinta tanpa manusia semisal taman yang tak berpenghuni, atau seperti malam yang tanpa bintang dan purnama. Sebab itu, jatuh cinta bukanlah sebuah persoalan, tapi hidup tanpa cintalah yang menjadi persoalan. Dan, mengemis cinta bukanlah seorang perampok, namun penghujat cintalah yang mesti dihakimi. Menangis karena cinta bukanlah seorang yang cengeng, atau mungkinkah air mata diciptakan adalah karena manusia memiliki cinta?.
Cinta itu bisa didefinisikan, tetapi kita tidak pernah tepat mendefinisikannya. Konon, cinta itu ibarat air yang meluap setelah turun hujan lebat. Ia adalah luapan hati dan gejolaknya ketika rindu ingin bertemu dengan orang yang dicintainya. Ada juga yang mengatakan bahwa cinta itu adalah ketenangan dan keyakinan, artinya; jika seseorang telah jatuh cinta maka hatinya tidak akan lagi bertengger ke hati yang lain. Menurut pendapat yang lain cinta ialah sebuah bejana atau lainnya, yang menjamin keamanan. Cinta dalam pengertian ini menggambarkan bahwa seseorang yang jatuh cinta rela memikul beban yang berat demi orang yang dicintainya. Begitulah cinta, maknanya tidak pernah selesai diungkapkan sepanjang sejarah peradaban manusia. Hal ini, mungkin karena cinta itu adalah lautan yang bertepi, tidak pula berwarna, ketinggian maknanya lebih tinggi dari kejauhan bintang di angkasa sana, dan kemisteriannya lebih rumit dari bahasa sandi yang diciptakan oleh Davinci pada lukisan Monalisanya. Lagu-lagu cinta, puisi-puisi cinta, film-film cinta, novel cinta, talk show cinta, dan cinta-cinta lainnya adalah wacana yang tidak akan pernah habis untuk terus di gali. Ini mungkin karena cinta berada di dunia rasa, dimensi pengalaman, dan alam yang tidak bisa disentuh dan dilihat. Yang bisa dilakukan oleh anak manusia sekadar meraba-raba dimensinya.
Namun, sungguh disayangkan pabila makna cinta itu hanya sebatas menyatu dengan kertas-kertas—tidak melebur pada jiwa dan raga ini. Amat tidak bijak misalnya, kalau kita pandai menciptakan puluhan lagu atau puisi cinta, tapi apa yang kita dengar, lihat, katakan, dan lakukan sama sekali bukan atas nama cinta dan tak seindah karya-karya kita itu. Betapa elok bila aku, kamu, dia, dan mereka lakukan atas nama cinta—entah karena cinta pada Tuhan, kehidupan, atau atas nama cinta sesama manusia—dan bukan atas nama keegoisan masing-masing.
Sejenak marilah merenung penuh hikmat, memeriksa ulang atas apa yang telah kita lakukan selama ini pada dia, saya, mereka, dan diri kita sendiri. Hiruplah energi positif yang ada di alam ini, lalu keluarkan dengan perlahan seluruh energi negatif yang ada dalam diri ini. Lalu rasakanlah beberapa detik setelahnya, maka kita ‘kan merasakan ketenangan dan kedamaian di hati ini. Yah, itulah yang dipinta oleh cinta dari semua anak manusia, dan bukan justru sebaliknya.
Tanpa cinta, kemanusian tak akan mungkin ada, bahkan dalam waktu satu hari saja. Tidaklah disebut lonceng bila ia dibiarkan menggantung dan tidak pernah dibunyikan. Keberadaan lonceng itu sekadar hiasan belaka kalau ia masih terus bergantung membisu. Dan begitu dengan cinta, bukanlah cinta namanya kalau ia hanya disimpan dalam hati dan tak pernah coba diungkapkan. Ia baru cinta namanya kalau sudah dinyatakan, seperti: kupu-kupu baru dinamakan kupu-kupu kalau ia sudah lepas dari kepompongnya, atau sebelum anak ayam menetas ia masih disebut telur.
Bagas kehilangan Alex dalam film Alexanderia karena dia tidak mau jujur akan isi hatinya pada Alex, teman dekatnya sejak masih kanak-kanak. Dan begitu juga dengan Rahel dalam film Heart yang baru menyadari betapa Rahel selama ini mencintai Farel di waktu sosok Luna hadir dalam hari-hari Farel. Bagas dalam dalam film Alexanderia ialah tamsil lelaki yang tak menyadari bahwa perempuan itu butuh kepastian dan kejujuran. Sedangkan Rahel dalam Heart adalah gambaran seorang perempuan yang masih bepegang teguh bahwa perempuan tidak pantas mengutarakan isi hatinya terlebih dahulu.
Ketidakjujuran dan lebih memilih mencintai dengan diam-diam—seperti apa yang dilakukan Bagas dan Rahel seringkali berakhir dengan penyesalan dan kesedihan. Begitulah logika cinta. Dan, bersiaplah untuk menjadi Bagas dan Rahel yang lain bila loncengmu dibiarkan mengantung dan menunggu angin yang tepat untuk membunyikannya.
Sekedar kamu tahu bahwa aku mencintaimu. Mencintai tidaklah harus memiliki, demikianlah kata orang. Mencintai dan dicintai adalah hak setiap orang dan melanggar hak bila memaksakan orang lain untuk mencintai kita. Cukup katakan saja: Seperti gerimis; aku jatuh cinta perlahan-lahan.” Karena, yang terpenting dia mengetahui perasaanmu padanya dari bibirmu sendiri. Diamlah, tunggulah jawabannya. Dan jangan bersedih bila cintamu ditolak, sebab ada yang lebih menyakitkan, yaitu mencintai seseorang dan tak pernah memiliki keberanian untuk mengutarakannya. Atau katakan lagi: Aku tidak berharap kamu harus punya perasaan yang sama denganku, tetapi paling tidak kamu tahu bahwa aku mencintaimu”.
Kamu adalah siapa yang kamu cintai, dan bukan siapa yang mencintaimu. Mengapa Otsu dalam novel Musashi lebih memilih untuk menyerahkan seluruh hidupnya kepada Miyamoto Mushasi ketimbang pada tunagannya sendiri, Matahachi?
Otsu mencintai Mushasi bukan karena dia seorang samurai yang tidak terkalahkan, berbadan atletis, atau dianggap dia memiliki masa depan yang cerah karena banyak daimyo (tuan tanah) yang meliriknya. Dan begitu juga dengan Musashi, menyukai Otsu tidaklah karena ia pernah menyelamatkan hidupnya ketika di hukum oleh pendeta Takuan di pohon Kriptomeria Tua waktu itu. Tetapi, karena ada kecocokan jiwa antara pribadi Musashi dengan Otsu yang membuat cinta itu tercipta di hati mereka berdua.
Cinta sejati sama saja dengan hantu: seluruh dunia membicarakannya, namun cuma sedikit orang yang pernah melihatnya. Begitulah cinta sejati, sampai saat ini masih menjadi perdebatan antara ada dan tidak ada. Cinta sejati adalah cinta yang “sebenar-benarnya” terhadap seseorang. Misalnya, mungkin kekasihmu, tunangan mereka, atau suami dan istri kita bukanlah orang pertama yang singgah di hati ini, tetapi menjalin hubungan dengannya kamu merasakan menjadi kamu yang sebenarnya. Atau, dari sekian orang yang pernah hadir di hatimu sampai saat ini hanya ada satu orang yang selalu menjadi pengantar tidurmu, di saat kamu sedang makan sendirian kamu membayangkan dia sedang duduk manis di depanmu, atau ketika bagun dari tidur kamu berpikir seolah-olah dia yang telah membangunkanmu. Dan seandainya dia kini telah menjadi sahabat kamu akan merasakan ada pengakuan persahabatan yang berbeda dibanding pertemananmu dengan yang lain, misalnya: kamu dan dia masih sering mengingatkan untuk jangan lupa makan atau jangan tidur terlalu larut malam. Kamu dan dia masih takut untuk saling menatap dan memilih saling melempar pandang ke arah yang lain. Atau kamu terkadang membayangkan; seandainya suatu hari kamu berbaring di rumah sakit kamu berharap dialah yang menungguimu; atau bila dia yang sedang berbaring di sana, pastilah kamu orang pertama yang akan menjaganya sampai dia sembuh. Kepedulianmu dan perhatian dia padamu tidak dengan sentuhan atau pelukan, tapi hanya lewat doa’.
Akhirnya, cintailah dan pilihlah dia yang bisa menjadi makmummu; atau dia yang bisa kamu jadikan imam. Jika tempo hari cintamu tumbuh karena adanya pertemuan yang tekun, kini cintai dan pilihlah sesorang yang memang layak kamu cintai, sebab hidup ini terlalu singkat jika dihabiskan bersama dengan pilihan yang salah. Kalau dulu kamu menerima dia adalah karena dia mengatakan: “Aku suka kamu”, yang lalu kamu membalasnya: “Iya, aku terima cintamu”. Kini lakukanlah bahwa mencintai itu adalah sebuah pertanggung jawaban; tanggung jawab untuk saling menjaga, tanggung jawab untuk saling menghormati, tanggung jawab untuk saling berbagi, tanggung jawab untuk saling menyayangi, tanggung jawab untuk tidak saling membohongi, tanggung jawab untuk saling peduli, dan tanggung jawab untuk saling menjaga kehormatan masing-masing. Sehingga, tidak ada lagi kabar di headline-headline koran atau berita di media massa tentang penemuan seorang anak yang hanya mau enak tapi tak mau anak.
Aku manusia;Rindu rasa rindu rupa. Cinta dan manusia ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Manusia tanpa cinta atau cinta tanpa manusia semisal taman yang tak berpenghuni, atau seperti malam yang tanpa bintang dan purnama. Sebab itu, jatuh cinta bukanlah sebuah persoalan, tapi hidup tanpa cintalah yang menjadi persoalan. Dan, mengemis cinta bukanlah seorang perampok, namun penghujat cintalah yang mesti dihakimi. Menangis karena cinta bukanlah seorang yang cengeng, atau mungkinkah air mata diciptakan adalah karena manusia memiliki cinta?.
Cinta itu bisa didefinisikan, tetapi kita tidak pernah tepat mendefinisikannya. Konon, cinta itu ibarat air yang meluap setelah turun hujan lebat. Ia adalah luapan hati dan gejolaknya ketika rindu ingin bertemu dengan orang yang dicintainya. Ada juga yang mengatakan bahwa cinta itu adalah ketenangan dan keyakinan, artinya; jika seseorang telah jatuh cinta maka hatinya tidak akan lagi bertengger ke hati yang lain. Menurut pendapat yang lain cinta ialah sebuah bejana atau lainnya, yang menjamin keamanan. Cinta dalam pengertian ini menggambarkan bahwa seseorang yang jatuh cinta rela memikul beban yang berat demi orang yang dicintainya. Begitulah cinta, maknanya tidak pernah selesai diungkapkan sepanjang sejarah peradaban manusia. Hal ini, mungkin karena cinta itu adalah lautan yang bertepi, tidak pula berwarna, ketinggian maknanya lebih tinggi dari kejauhan bintang di angkasa sana, dan kemisteriannya lebih rumit dari bahasa sandi yang diciptakan oleh Davinci pada lukisan Monalisanya. Lagu-lagu cinta, puisi-puisi cinta, film-film cinta, novel cinta, talk show cinta, dan cinta-cinta lainnya adalah wacana yang tidak akan pernah habis untuk terus di gali. Ini mungkin karena cinta berada di dunia rasa, dimensi pengalaman, dan alam yang tidak bisa disentuh dan dilihat. Yang bisa dilakukan oleh anak manusia sekadar meraba-raba dimensinya.
Namun, sungguh disayangkan pabila makna cinta itu hanya sebatas menyatu dengan kertas-kertas—tidak melebur pada jiwa dan raga ini. Amat tidak bijak misalnya, kalau kita pandai menciptakan puluhan lagu atau puisi cinta, tapi apa yang kita dengar, lihat, katakan, dan lakukan sama sekali bukan atas nama cinta dan tak seindah karya-karya kita itu. Betapa elok bila aku, kamu, dia, dan mereka lakukan atas nama cinta—entah karena cinta pada Tuhan, kehidupan, atau atas nama cinta sesama manusia—dan bukan atas nama keegoisan masing-masing.
Sejenak marilah merenung penuh hikmat, memeriksa ulang atas apa yang telah kita lakukan selama ini pada dia, saya, mereka, dan diri kita sendiri. Hiruplah energi positif yang ada di alam ini, lalu keluarkan dengan perlahan seluruh energi negatif yang ada dalam diri ini. Lalu rasakanlah beberapa detik setelahnya, maka kita ‘kan merasakan ketenangan dan kedamaian di hati ini. Yah, itulah yang dipinta oleh cinta dari semua anak manusia, dan bukan justru sebaliknya.
Tanpa cinta, kemanusian tak akan mungkin ada, bahkan dalam waktu satu hari saja. Tidaklah disebut lonceng bila ia dibiarkan menggantung dan tidak pernah dibunyikan. Keberadaan lonceng itu sekadar hiasan belaka kalau ia masih terus bergantung membisu. Dan begitu dengan cinta, bukanlah cinta namanya kalau ia hanya disimpan dalam hati dan tak pernah coba diungkapkan. Ia baru cinta namanya kalau sudah dinyatakan, seperti: kupu-kupu baru dinamakan kupu-kupu kalau ia sudah lepas dari kepompongnya, atau sebelum anak ayam menetas ia masih disebut telur.
Bagas kehilangan Alex dalam film Alexanderia karena dia tidak mau jujur akan isi hatinya pada Alex, teman dekatnya sejak masih kanak-kanak. Dan begitu juga dengan Rahel dalam film Heart yang baru menyadari betapa Rahel selama ini mencintai Farel di waktu sosok Luna hadir dalam hari-hari Farel. Bagas dalam dalam film Alexanderia ialah tamsil lelaki yang tak menyadari bahwa perempuan itu butuh kepastian dan kejujuran. Sedangkan Rahel dalam Heart adalah gambaran seorang perempuan yang masih bepegang teguh bahwa perempuan tidak pantas mengutarakan isi hatinya terlebih dahulu.
Ketidakjujuran dan lebih memilih mencintai dengan diam-diam—seperti apa yang dilakukan Bagas dan Rahel seringkali berakhir dengan penyesalan dan kesedihan. Begitulah logika cinta. Dan, bersiaplah untuk menjadi Bagas dan Rahel yang lain bila loncengmu dibiarkan mengantung dan menunggu angin yang tepat untuk membunyikannya.
Sekedar kamu tahu bahwa aku mencintaimu. Mencintai tidaklah harus memiliki, demikianlah kata orang. Mencintai dan dicintai adalah hak setiap orang dan melanggar hak bila memaksakan orang lain untuk mencintai kita. Cukup katakan saja: Seperti gerimis; aku jatuh cinta perlahan-lahan.” Karena, yang terpenting dia mengetahui perasaanmu padanya dari bibirmu sendiri. Diamlah, tunggulah jawabannya. Dan jangan bersedih bila cintamu ditolak, sebab ada yang lebih menyakitkan, yaitu mencintai seseorang dan tak pernah memiliki keberanian untuk mengutarakannya. Atau katakan lagi: Aku tidak berharap kamu harus punya perasaan yang sama denganku, tetapi paling tidak kamu tahu bahwa aku mencintaimu”.
Kamu adalah siapa yang kamu cintai, dan bukan siapa yang mencintaimu. Mengapa Otsu dalam novel Musashi lebih memilih untuk menyerahkan seluruh hidupnya kepada Miyamoto Mushasi ketimbang pada tunagannya sendiri, Matahachi?
Otsu mencintai Mushasi bukan karena dia seorang samurai yang tidak terkalahkan, berbadan atletis, atau dianggap dia memiliki masa depan yang cerah karena banyak daimyo (tuan tanah) yang meliriknya. Dan begitu juga dengan Musashi, menyukai Otsu tidaklah karena ia pernah menyelamatkan hidupnya ketika di hukum oleh pendeta Takuan di pohon Kriptomeria Tua waktu itu. Tetapi, karena ada kecocokan jiwa antara pribadi Musashi dengan Otsu yang membuat cinta itu tercipta di hati mereka berdua.
Cinta sejati sama saja dengan hantu: seluruh dunia membicarakannya, namun cuma sedikit orang yang pernah melihatnya. Begitulah cinta sejati, sampai saat ini masih menjadi perdebatan antara ada dan tidak ada. Cinta sejati adalah cinta yang “sebenar-benarnya” terhadap seseorang. Misalnya, mungkin kekasihmu, tunangan mereka, atau suami dan istri kita bukanlah orang pertama yang singgah di hati ini, tetapi menjalin hubungan dengannya kamu merasakan menjadi kamu yang sebenarnya. Atau, dari sekian orang yang pernah hadir di hatimu sampai saat ini hanya ada satu orang yang selalu menjadi pengantar tidurmu, di saat kamu sedang makan sendirian kamu membayangkan dia sedang duduk manis di depanmu, atau ketika bagun dari tidur kamu berpikir seolah-olah dia yang telah membangunkanmu. Dan seandainya dia kini telah menjadi sahabat kamu akan merasakan ada pengakuan persahabatan yang berbeda dibanding pertemananmu dengan yang lain, misalnya: kamu dan dia masih sering mengingatkan untuk jangan lupa makan atau jangan tidur terlalu larut malam. Kamu dan dia masih takut untuk saling menatap dan memilih saling melempar pandang ke arah yang lain. Atau kamu terkadang membayangkan; seandainya suatu hari kamu berbaring di rumah sakit kamu berharap dialah yang menungguimu; atau bila dia yang sedang berbaring di sana, pastilah kamu orang pertama yang akan menjaganya sampai dia sembuh. Kepedulianmu dan perhatian dia padamu tidak dengan sentuhan atau pelukan, tapi hanya lewat doa’.
Akhirnya, cintailah dan pilihlah dia yang bisa menjadi makmummu; atau dia yang bisa kamu jadikan imam. Jika tempo hari cintamu tumbuh karena adanya pertemuan yang tekun, kini cintai dan pilihlah sesorang yang memang layak kamu cintai, sebab hidup ini terlalu singkat jika dihabiskan bersama dengan pilihan yang salah. Kalau dulu kamu menerima dia adalah karena dia mengatakan: “Aku suka kamu”, yang lalu kamu membalasnya: “Iya, aku terima cintamu”. Kini lakukanlah bahwa mencintai itu adalah sebuah pertanggung jawaban; tanggung jawab untuk saling menjaga, tanggung jawab untuk saling menghormati, tanggung jawab untuk saling berbagi, tanggung jawab untuk saling menyayangi, tanggung jawab untuk tidak saling membohongi, tanggung jawab untuk saling peduli, dan tanggung jawab untuk saling menjaga kehormatan masing-masing. Sehingga, tidak ada lagi kabar di headline-headline koran atau berita di media massa tentang penemuan seorang anak yang hanya mau enak tapi tak mau anak.
Aku dan Labirin Buku
Pagi ini buku-bukuku berceceran di lantai kamarku, sudah dua hari ini aku tak merapikan buku-buku itu. Sengaja kubiarkan buku-buku itu menumpuk dan terbaring tak rapi, dan ini bukan kebiasaanku tak memberesi buku-buku setelah selesai ku membacanya. Pagi ini seperti pagi-pagi biasanya aku terus asyik memasuki alam buku di kamarku yang sempit dan pengab karena bau kertas buku-buku. Biarlah bau dan pengap, aku tak ‘kan pernah membuang buku-buku ini. Karena, aku sudah terlanjur mencintai buku. Rasa cintaku pada buku seperti perasan Zulaikha pada Yusuf, dan sedalam cinta Romeo terhadap Juliet. Sebab, dari buku peradaban manusia itu dimulai.
Andai manusia tidak merekam atau enggan menuliskan apa yang telah diketahuinya mungkin sampai saat ini manusia masih berkelana dengan kuda atau unta. Masih menyeberangi lautan dengan perahu yang dirakit dari kayu atau bambu. Hanya bisa menatap burung-burung yang terbang melayang-layang di atas awan. Sekedar bisa melihat bintang-bintang dan tidak mengerti ada apa di luar bumi ini. Namun, buku telah membuka mata manusia dan mengantarkan menjelajahi jagat raya ini. Buku-lah yang telah menerbangkan manusia dari negara satu ke negara lain dalam hitungan detak jam. Perantara buku, lautan yang luasnya melebihi daratan kini dapat dijelahi saban waktu. Kalau tak ada buku manusia tidak akan pernah mengerti bahwa di luar bumi ini ada jagat yang bernama Bima Sakti. Manusia bukanlah apa-apa kalau tak ada buku.
Buku adalah ruang yang terkadang senyap, sepi, sunyi, dan juga labirin yang penuh dengan dinamika pertempuran-pertempuran sengit antara satu ide dengan ide-ide lainnya. Tetapi, sesunyi dan sepi apapun alam buku ia tak akan menjadikan penghuninya berpenyakitan mental. Dan, sedahsyat apapun pertarungan di alam buku ia tak akan mengantarkan petarungnya pada kematian. Bahkan, pertarungan antara satu teks dengan teks lainnya memicu otak untuk terus memikir, menelaah, dan merenungkan. Karena buku, si dungu berubah menjadi cerdik-tauladan karena ia menjadi pengunjung setia labirin buku. Seperti, seorang petarung legendaris Jepang, namanya Miyamoto Musashi (1584-1645), mulanya sebelum Musashi bertemu dengan buku ia seorang pemuda yang tak disenangi dan dibenci oleh orang-orang di kampungnya, namun setelah pendeta Takuan mengurungnya selama sekian musim di dalam ruangan yang hanya ada buku-buku sekarang dia menjadi tokoh inspirasi orang-orang Jepang modern. Demikian juga, Alexander Graham Bell (1847-1922) dengan penemuan telponnya mengantarkan manusia pada era telekomunikasi adalah karena ia berteman dengan buku. Di tahun 1879 sebuah penemuan menggantikan lampu teplok ke lampu pijar itu karena Thomas Alva Edison (1847-1931) menyukai dunia buku. Averous, orang Islam memanggilnya Ibn Rusyd, buku-bukunya telah menyelamatkan kekerdilan cara berpikir manusia dengan berpikir mendalam dan kritis. Imam Bukhiri, Ibn Majah, Imam Tirmidhi, Imam Nasa’i, Imam Tabrhoni, Imam Hakim dan imam-imam pengumpul hadist lainnya adalah berkat buku-bukunya mereka menjadi penyambung sunnah Rasulllah dari masa ke masa. Ruang masa lalu dan waktu masa depan dapat ditembus dengan buku, walau kita hanya duduk di dalam kamar atau perpustakaan. Begitulah labirin buku, sebuah ruangan yang dapat mempertemukan kita dengan orang-orang yang hidup di masa lalu, dan sebuah lorong yang akan mengantarkan manusia pada rumah masa depan yang tercerahkan.
***
Tak terasa dua jam lebih lamanya aku terjebak di dalam labirin buku, suara kokokan ayam kini hanya terdengar satu dua kali saja, bunyi kicau burung-burung sudah tak terdengar lagi, dan suara obrolan para tetangga mulai menembus bilik-bilik kamarku. Matahari sudah setinggi tower telpon atau pemancar radio. Itu artinya, aku harus segera ke luar dari sini. Tapi di mana pintu jalan keluarnya?
Aku berlari mencari pintu keluar, lorongnya begitu panjang dan nampak tak berujung. Aku terus berlari kencang sambil tengok ke kanan dan ke kiri tuk mencari pintu keluar. Setelah cukup lelah berlari dan berputar-putar lalu ku temukan dua ruas jalan, ke arah kiri dan jalan ke kanan. Sejenak aku diam, menimang-nimang ke arah lorong mana yang harus aku ambil. Akhirnya, kuputuskan memilih belok ke kanan. Dan, lima meter dari belokokan lorong itu aku bertemu dengan Abu Hayyan al Tawhidi (w. 414 H./1023 M.) yang meninggal disiksa karena buku-bukunya, di sana aku juga disapa oleh Imam Al-Nasa’i (w. 309 H./915 M) yang juga sama disiksa dan meninggalkan karena buku-bukunya, dan aku juga bertemu dengan Einstein yang mengejekku dengan menjulurkan lidah sambil membelalakkan ke dua matanya dengan rambut yang acak-acakan.
Kini, sudah ku temukan pintu keluar dari lorong buku, namun ketika kutengah memutar ke kanan kunci pintu labirin itu tiba–tiba seseorang berlari ke arahku, katanya namanya Soe Hok Gei (1942-1969). Dia beterima kasih pada anak bangsa ini yang telah mem-buku-kan catatan hariannya. “Catatan Seorang Demonstran! Judul bagus, boleh juga. Aku menyukainya,” katanya sambil tersenyum padaku. “Aku juga suka, terutama puisimu yang kau tulis tanggal 11 November 1969 itu,” balasku. “Yang mana? aku sudah lupa itu.... ” dia terlihat bingung dan beberapa kali memukul-mukul pelan kepalanya dengan buku yang sejak tadi diapitnya “Atau, maukah kau membacakannya untukku,” katanya lagi. “Baiklah, tapi hanya sepenggal saja..sebab aku harus segera pergi,” pintaku. “Tidak masalah, “ balasnya dengan sebelah alis terangkat. “Begini kau menulisnya: Mari sini sayangku/kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku/tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung/kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak ‘kan pernah kehilangan apa.”
“Wow, puisi yang bagus”, seseorang dari belakang menepuk pundakku. Dia Pramoedya Ananta Toer. “Itu karya dia, “kataku menunjuk ke Soe Hok Gie.
“Yah, begitulah nak. Sebab itu kau harus menulis, selama kau tidak menulis, kau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah”, pesan Pram padaku. “Iya, aku akan menulis dengan kepala tegak tanpa mesti takut. Seperti kalian. Terima kasih,” kataku. Mereka tersenyum. Aku juga. Lalu aku segera pergi menuju ke pintu keluar dari labirin buku itu, dan besok pagi aku akan kembali ke dalam labirin buku itu lagi.Tunggulah.
Andai manusia tidak merekam atau enggan menuliskan apa yang telah diketahuinya mungkin sampai saat ini manusia masih berkelana dengan kuda atau unta. Masih menyeberangi lautan dengan perahu yang dirakit dari kayu atau bambu. Hanya bisa menatap burung-burung yang terbang melayang-layang di atas awan. Sekedar bisa melihat bintang-bintang dan tidak mengerti ada apa di luar bumi ini. Namun, buku telah membuka mata manusia dan mengantarkan menjelajahi jagat raya ini. Buku-lah yang telah menerbangkan manusia dari negara satu ke negara lain dalam hitungan detak jam. Perantara buku, lautan yang luasnya melebihi daratan kini dapat dijelahi saban waktu. Kalau tak ada buku manusia tidak akan pernah mengerti bahwa di luar bumi ini ada jagat yang bernama Bima Sakti. Manusia bukanlah apa-apa kalau tak ada buku.
Buku adalah ruang yang terkadang senyap, sepi, sunyi, dan juga labirin yang penuh dengan dinamika pertempuran-pertempuran sengit antara satu ide dengan ide-ide lainnya. Tetapi, sesunyi dan sepi apapun alam buku ia tak akan menjadikan penghuninya berpenyakitan mental. Dan, sedahsyat apapun pertarungan di alam buku ia tak akan mengantarkan petarungnya pada kematian. Bahkan, pertarungan antara satu teks dengan teks lainnya memicu otak untuk terus memikir, menelaah, dan merenungkan. Karena buku, si dungu berubah menjadi cerdik-tauladan karena ia menjadi pengunjung setia labirin buku. Seperti, seorang petarung legendaris Jepang, namanya Miyamoto Musashi (1584-1645), mulanya sebelum Musashi bertemu dengan buku ia seorang pemuda yang tak disenangi dan dibenci oleh orang-orang di kampungnya, namun setelah pendeta Takuan mengurungnya selama sekian musim di dalam ruangan yang hanya ada buku-buku sekarang dia menjadi tokoh inspirasi orang-orang Jepang modern. Demikian juga, Alexander Graham Bell (1847-1922) dengan penemuan telponnya mengantarkan manusia pada era telekomunikasi adalah karena ia berteman dengan buku. Di tahun 1879 sebuah penemuan menggantikan lampu teplok ke lampu pijar itu karena Thomas Alva Edison (1847-1931) menyukai dunia buku. Averous, orang Islam memanggilnya Ibn Rusyd, buku-bukunya telah menyelamatkan kekerdilan cara berpikir manusia dengan berpikir mendalam dan kritis. Imam Bukhiri, Ibn Majah, Imam Tirmidhi, Imam Nasa’i, Imam Tabrhoni, Imam Hakim dan imam-imam pengumpul hadist lainnya adalah berkat buku-bukunya mereka menjadi penyambung sunnah Rasulllah dari masa ke masa. Ruang masa lalu dan waktu masa depan dapat ditembus dengan buku, walau kita hanya duduk di dalam kamar atau perpustakaan. Begitulah labirin buku, sebuah ruangan yang dapat mempertemukan kita dengan orang-orang yang hidup di masa lalu, dan sebuah lorong yang akan mengantarkan manusia pada rumah masa depan yang tercerahkan.
***
Tak terasa dua jam lebih lamanya aku terjebak di dalam labirin buku, suara kokokan ayam kini hanya terdengar satu dua kali saja, bunyi kicau burung-burung sudah tak terdengar lagi, dan suara obrolan para tetangga mulai menembus bilik-bilik kamarku. Matahari sudah setinggi tower telpon atau pemancar radio. Itu artinya, aku harus segera ke luar dari sini. Tapi di mana pintu jalan keluarnya?
Aku berlari mencari pintu keluar, lorongnya begitu panjang dan nampak tak berujung. Aku terus berlari kencang sambil tengok ke kanan dan ke kiri tuk mencari pintu keluar. Setelah cukup lelah berlari dan berputar-putar lalu ku temukan dua ruas jalan, ke arah kiri dan jalan ke kanan. Sejenak aku diam, menimang-nimang ke arah lorong mana yang harus aku ambil. Akhirnya, kuputuskan memilih belok ke kanan. Dan, lima meter dari belokokan lorong itu aku bertemu dengan Abu Hayyan al Tawhidi (w. 414 H./1023 M.) yang meninggal disiksa karena buku-bukunya, di sana aku juga disapa oleh Imam Al-Nasa’i (w. 309 H./915 M) yang juga sama disiksa dan meninggalkan karena buku-bukunya, dan aku juga bertemu dengan Einstein yang mengejekku dengan menjulurkan lidah sambil membelalakkan ke dua matanya dengan rambut yang acak-acakan.
Kini, sudah ku temukan pintu keluar dari lorong buku, namun ketika kutengah memutar ke kanan kunci pintu labirin itu tiba–tiba seseorang berlari ke arahku, katanya namanya Soe Hok Gei (1942-1969). Dia beterima kasih pada anak bangsa ini yang telah mem-buku-kan catatan hariannya. “Catatan Seorang Demonstran! Judul bagus, boleh juga. Aku menyukainya,” katanya sambil tersenyum padaku. “Aku juga suka, terutama puisimu yang kau tulis tanggal 11 November 1969 itu,” balasku. “Yang mana? aku sudah lupa itu.... ” dia terlihat bingung dan beberapa kali memukul-mukul pelan kepalanya dengan buku yang sejak tadi diapitnya “Atau, maukah kau membacakannya untukku,” katanya lagi. “Baiklah, tapi hanya sepenggal saja..sebab aku harus segera pergi,” pintaku. “Tidak masalah, “ balasnya dengan sebelah alis terangkat. “Begini kau menulisnya: Mari sini sayangku/kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku/tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung/kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak ‘kan pernah kehilangan apa.”
“Wow, puisi yang bagus”, seseorang dari belakang menepuk pundakku. Dia Pramoedya Ananta Toer. “Itu karya dia, “kataku menunjuk ke Soe Hok Gie.
“Yah, begitulah nak. Sebab itu kau harus menulis, selama kau tidak menulis, kau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah”, pesan Pram padaku. “Iya, aku akan menulis dengan kepala tegak tanpa mesti takut. Seperti kalian. Terima kasih,” kataku. Mereka tersenyum. Aku juga. Lalu aku segera pergi menuju ke pintu keluar dari labirin buku itu, dan besok pagi aku akan kembali ke dalam labirin buku itu lagi.Tunggulah.
Langganan:
Postingan (Atom)
Link
Mengenai Saya
- Mohammad Nizar
- Awalnya aku hanya suka membaca, tapi sejak umur berapa aku sudah tidak ingat lagi. Seiring berjalannya durasi waktu, aku sadar sekedar membaca tidaklah cukup dalam kehidupan yang hanya sesaat ini. Maka, mulailah aku menulis, menulis apa saja yang ingin aku tuliskan, sebab seorang penulis itu seperti seorang arkeolog yang aktivitasnya adalah mengumpulkan atau menggali fosil-fosil yang terpendam dalam tanah. Begitulah aku, akan kutuliskam setiap kali kutemukan penggalan-penggalan realitas yang ku temui di sepanjang ruas jalan kehidupan ini, biar di kehidupan mendatang apa yang ku tuliskan ini bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.