“Hidup tanpa harapan adalah hidup yang sepi, sedih, dan prihatin”. (Amien Ra’is)
Yah, hanya harapanlah yang akan membuat hidup kita ini tidak akan menjadi sepi, menyedihkan, atau memprihatikan. Seseorang yang memiliki harapan dan impian, gerak-gerik kehidupannya akan menjadi penuh makna. Seperti; ketika ia berdiri atau duduk ia punya alasan mengapa dia melakukannya. Ini akan berbeda sekali bagi mereka yang tidak memiliki harapan dan impian maka layar kehidupannya hanya akan selalu mengikuti kemana angin membawanya, hidup hanyalah perjalanan tanpa arah. Sang nahkoda memang tidak akan pernah bisa mengendalikan arah angin, tapi kemana ia akan membawa kapalnya itu ada ditangannya. Begitu pula dengan arah kehidupan ini, kita memiliki kebebasan dan kesempatan untuk menjadi apa dan mau kemana arahnya:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri...(QS Ar-Ra’ad (13): 11).
Perubahan sejarah peradaban manusia, menurut Hegel berakar dalam tahap kesadaran yang mendahuluinya, yakni pada tingkat ide-ide. Ide-ide disini bisa dipahami semacam sebuah harapan atau impian. Lihat saja bagaimana eropa maju seperti saat ini diawali oleh kesadaran mereka untuk maju, bukan takdir Tuhan. Harapan atau impian itu tidaklah harus setinggi gunung himalaya atau sebesar tembok besar cina. Mulailah kita dari hal yang terkecil dan sederhana dulu. Karena suatu perubahan besar itu selalu diawali dari perubahan yang terkecil terlebih dahulu. Kemudian sekarang pertanyaannya bagaimana agar harapan dan impian tersebut akan terus hidup dalam diri kita ?
“Taruh semua harapan, cita-cita, keyakinan, dan apalah namanya 5 cm di depan keningmu, biarlah dia mengambang, menggantung, dan jangan biarkan dia menempel di keningmu Karena mata kita setiap hari akan melihatnya dan setiap saat kita akan membawanya kemanapun kita melangkah. Kemudian yang kita butuhkan adalah...langkah yang akan berjalan lebih cepat, tangan yang akan berbuat lebih banyak, dan mata yang akan menatap lebih lama. Jangan pernah menanyakan apakah mimpimu, harapanmu, atau cita-citamu itu akan menjadi kenyataan akan tetapi keyakinanlah yang harus dipupuk bahwa kita pasti meraih itu semuanya”, demikianlah Ian mengkuliahi teman-temannya ketika mereka tidak mempercayai kalau mereka mampu menaklukkan gunung Mahameru (baca novel 5 cm).
Selasa, 26 Juni 2007
Surat Tuan Putri (1)
Untuk Tuan Putri
Salam sejahtera selalu untuk Tuan Putri. Perkenalkan hamba seorang Panglima perang Tuan Putri. Cukup Tuan Putri memanggil hamba “Sang Panglima” saja. Mungkin hamba telah lancang dan berani karena menyurati Tuan Putri sendiri. Tak apalah, hamba sudah siap untuk menerima hukuman kalau Tuan Putri menghendaki. Bagi hamba keputusan Tuan Putri adalah suatu kehormatan.
Pernahkah Tuan Putri mendengar cerita tentang Cinderella? Hamba sering mendengar, katanya Tuan Putri menyukai dongeng. Dan, hamba pun yakin tuan putri pasti pernah mendengar cerita tentang Cinderella. Tuan Putri, dulu tak ada yang menyangka kalau Cinderella kelak akan menjadi menantu kerajaan hanya karen sepatu kaca. Begitu pun halnya dengan Sulaikha, tidak ada orang yang menyangka ksuaminya kelak adalah Yusuf, anak angkatnya sendiri.
Begitulah nasib Tuan Putri, tidak ada orang yang tahu pasti akan lembaran demi lembaran perjalan anak manusia. Satu-satunya yang pasti adalah tuan putri kelak akan mengandung anak-anak dari suami Tuan Putri. Dan Tuan Putri tidak bisa bernegosiasi dengan nasib agar suami tuan putri bisa mengandung anak-anak dari Tuan Putri. Inilah yang kita sebut dengan fitrah Tuan Putri, Fitrah dimana kami seorang prajurit harus maju ke medan perang demi mempertahankan tanah airnya. Dan fitrah dimana para perempuan menunggu altar pemujaan tuk mendoa’kan kemenangan kami.
Tuan Putri, bagi kami goresan pedang, tusukan tombak, dan tembakan busur panah adalah takdir sebagai seorang prajurit. Dan kami memang harus menerimanya. Lalu bagaimana dengan kaum perempuan, termasuk Tuan Putri sendiri? Apakah mereka menolak hanya dengan duduk memuja ditempat-tempat pemujaan? Dan menyediakan makanan sepulangnya kami dari medan pertempuran atau mengobati beberapa diantara kami yang terluka?
Tuan Putri, beberapa hari yang lalu, kami berpapasan dengan seorang perempuan dalam suatu perjalanan pulang menuju kemah-kemah. Dia menghentikan kami, katanya dia ingin bergabung tuk juga ikut bertempur. Dan hamba katakan tidak boleh padanya. “Sebilah keris tidak hanya tuk laki-laki!”, teriaknya dengan sorotan tajam pada Hamba. Kami hnya bisa saling menoleh, tidak tahu harus menjawab apa padanya.
“Siapa yang mengatakan kalau kami para perempuan hanya ditakdirkan hanya sebagai penghilang penat kalian”. Dia kembali melanjuti dengan sorotan dalam pada Hamba.
“Bisakah kami menebas leher mereka di dalam suatu peperangan?”, tanya hamba pada nurani.
Tuan Putri, di dalam bola mata mereka Hamba tidak pernah melihat api permusuhan. Tangan-tangan mereka terlalu halus untuk kami potong dan apabali tuk kami cincang . Dan rahim-rahim mereka terlalu mulia untuk kami tebas.
Hanya ini yang ingin hamba tuliskan. Suatu saat nanti hamba akan kembali menyurati Tuan Putri. Jaga kesehatan Tuan Putri dan doa’kan untuk kemenangan kami.
Sang Panglima
Salam sejahtera selalu untuk Tuan Putri. Perkenalkan hamba seorang Panglima perang Tuan Putri. Cukup Tuan Putri memanggil hamba “Sang Panglima” saja. Mungkin hamba telah lancang dan berani karena menyurati Tuan Putri sendiri. Tak apalah, hamba sudah siap untuk menerima hukuman kalau Tuan Putri menghendaki. Bagi hamba keputusan Tuan Putri adalah suatu kehormatan.
Pernahkah Tuan Putri mendengar cerita tentang Cinderella? Hamba sering mendengar, katanya Tuan Putri menyukai dongeng. Dan, hamba pun yakin tuan putri pasti pernah mendengar cerita tentang Cinderella. Tuan Putri, dulu tak ada yang menyangka kalau Cinderella kelak akan menjadi menantu kerajaan hanya karen sepatu kaca. Begitu pun halnya dengan Sulaikha, tidak ada orang yang menyangka ksuaminya kelak adalah Yusuf, anak angkatnya sendiri.
Begitulah nasib Tuan Putri, tidak ada orang yang tahu pasti akan lembaran demi lembaran perjalan anak manusia. Satu-satunya yang pasti adalah tuan putri kelak akan mengandung anak-anak dari suami Tuan Putri. Dan Tuan Putri tidak bisa bernegosiasi dengan nasib agar suami tuan putri bisa mengandung anak-anak dari Tuan Putri. Inilah yang kita sebut dengan fitrah Tuan Putri, Fitrah dimana kami seorang prajurit harus maju ke medan perang demi mempertahankan tanah airnya. Dan fitrah dimana para perempuan menunggu altar pemujaan tuk mendoa’kan kemenangan kami.
Tuan Putri, bagi kami goresan pedang, tusukan tombak, dan tembakan busur panah adalah takdir sebagai seorang prajurit. Dan kami memang harus menerimanya. Lalu bagaimana dengan kaum perempuan, termasuk Tuan Putri sendiri? Apakah mereka menolak hanya dengan duduk memuja ditempat-tempat pemujaan? Dan menyediakan makanan sepulangnya kami dari medan pertempuran atau mengobati beberapa diantara kami yang terluka?
Tuan Putri, beberapa hari yang lalu, kami berpapasan dengan seorang perempuan dalam suatu perjalanan pulang menuju kemah-kemah. Dia menghentikan kami, katanya dia ingin bergabung tuk juga ikut bertempur. Dan hamba katakan tidak boleh padanya. “Sebilah keris tidak hanya tuk laki-laki!”, teriaknya dengan sorotan tajam pada Hamba. Kami hnya bisa saling menoleh, tidak tahu harus menjawab apa padanya.
“Siapa yang mengatakan kalau kami para perempuan hanya ditakdirkan hanya sebagai penghilang penat kalian”. Dia kembali melanjuti dengan sorotan dalam pada Hamba.
“Bisakah kami menebas leher mereka di dalam suatu peperangan?”, tanya hamba pada nurani.
Tuan Putri, di dalam bola mata mereka Hamba tidak pernah melihat api permusuhan. Tangan-tangan mereka terlalu halus untuk kami potong dan apabali tuk kami cincang . Dan rahim-rahim mereka terlalu mulia untuk kami tebas.
Hanya ini yang ingin hamba tuliskan. Suatu saat nanti hamba akan kembali menyurati Tuan Putri. Jaga kesehatan Tuan Putri dan doa’kan untuk kemenangan kami.
Sang Panglima
Surat Tuan Putri (2)
Ini Hamba, Tuan Putri
Tahukah Tuan putri, sejak dua hari yang lalu Hamba begitu ingin melihat Tuan Putri. Entahlah, mengagumi Tuan Putri bagi Hamba merupakan kesadaran dan diluar ketidaksadaran. Saat-saat setiap kali Hamba ingin bertemu Tuan Putri, Hamba selalu berputar-putar diluar lingkungan istana, berharap bisa bertemu dengan Tuan Putri. Dan ketika tak ada tanda-tanda kemunculan Tuan Putri yang bisa hamba lakukan hanya mengadu pada kuda tunggangan Hamba. Pohon Maja itulah yang menjadi saksi pengaduan Hamba pada si Putih, hamba biasa memanggil kuda tunggangan Hamba dengan sebutan si putih sesuai dengan warna kulitnya. Tapi si Putih hanya mengibas-ngibaskan ekornya ke badan dalam setiap pengaduan hamba padanya. Hanya dia dan pohon Maja itulah yang benar-benar memahami perasaan Hamba terhadap Tuan Putri. Pernahkah Tuan Putri memahami bahasa ombak sebelum ia menyapa pantai? Kerinduan Hamba pada Tuan Putri serupa deburan ombak itu Tuan Putri, begitu dalam dan sederhana.
Sering Hamba berandai-andai, ingin mengajak Tuan Putri untuk menunggangi si Putih, bersama-sama melihat keindahan alam diluar istana. Tuan Putri, betapa alam ini amat mengangumkan, gunung-gunung berdiri tegak dengan puncaknya yang hijau, bunga-bunga bermekaran menambahi indahnya ladang-ladang, cericit-cericit suara burung terdengar merdu seperti deru angin sepoi, dan awan-awan yang menghiasi langit serupa pameran lukisan-lukisan termegah di kehidupan ini. Namun, apalah artinya semua keindahan itu jika hanya dinikmati seorang diri, tak ada artinya Tuan Putri. Yang ada hanya sebatas kekaguman belaka atas semua keindahan, lalu memuji Sang Pemilik semua keindahan ini.
Dan, begitu pula halnya dengan semua keindahan yang ada dalam istana, akan tidak bermakna kalau hanya sebatas untuk dinikmati Tuan Putri sendiri. Begitulah hidup, Tuan Putri. Kita semuanya ingin sama-sama menyaksikan hidup orang yang paling kita sayangi, dan dia pun juga mengharapkan kita untuk menjadi saksi hidupnya. Agar dikemudian hari saat kita terlempar ke masa lalu akan ada orang yang menanggapinya, kemudian mungkin kita akan sama-sama tersenyum, terbahak, atau bersama-sama menangis.
Tuan Putri, hari ini Hamba terluka, busur anak panah menancap tepat dipaha kiri Hamba. Untunglah anak panah itu tidak beracun, dan mungkin beberapa hari lagi akan mengering.
Tuan Putri, sepertinya beberapa prajurit sudah tahu tentang kekaguman Hamba terhadap Tuan Putri. Selepas anak panah itu dicabut dari paha Hamba membuat malam-malam Hamba menjadi begitu dingin dan berkeringat. Dan dalam setiap guman, hati Hamba selalu memanggil Tuan Putri. Ketika pulas bibir Hamba seringkali menyebut-menyebut Tuan Putri. Dari igauan inilah kemudian banyak prajurit yang tahu tentang rahasia terdalam lubuk hati Hamba. Tapi biarlah, Hamba tidak peduli sekalipun seluruh pasukan Hamba telah mengetahui semua ini. Karena mencintai dan menyayangi seorang pada akhirnya secara perlahan akan nampak kepermukaan. Bukankah begitu, Tuan Putri?
Tuan Putri, karena hari sudah menjelang sore, sebentar lagi keindahan mega ini segera akan dirampas oleh malam mungkin Hamba cukupkan sampai disini dulu surat Hamba. Hamba berjanji akan selalu menyurati Tuan Putri, sepanjang tubuh ini tidak terbelah oleh tebasan pedang atau tusukan tombak. Doa’kan selalu untuk kemenangan semua pertempuran Hamba, demi kejayaaan negeri kita untuk saat ini dan saat-saat mendatang.
“Cukuplah melihat Venus dimalam hari sebagai pelipur lara rasa rindu Hamba pada Tuan Putri di negeri yang jauh ini.”
Sang Panglima
21.05.07
Tahukah Tuan putri, sejak dua hari yang lalu Hamba begitu ingin melihat Tuan Putri. Entahlah, mengagumi Tuan Putri bagi Hamba merupakan kesadaran dan diluar ketidaksadaran. Saat-saat setiap kali Hamba ingin bertemu Tuan Putri, Hamba selalu berputar-putar diluar lingkungan istana, berharap bisa bertemu dengan Tuan Putri. Dan ketika tak ada tanda-tanda kemunculan Tuan Putri yang bisa hamba lakukan hanya mengadu pada kuda tunggangan Hamba. Pohon Maja itulah yang menjadi saksi pengaduan Hamba pada si Putih, hamba biasa memanggil kuda tunggangan Hamba dengan sebutan si putih sesuai dengan warna kulitnya. Tapi si Putih hanya mengibas-ngibaskan ekornya ke badan dalam setiap pengaduan hamba padanya. Hanya dia dan pohon Maja itulah yang benar-benar memahami perasaan Hamba terhadap Tuan Putri. Pernahkah Tuan Putri memahami bahasa ombak sebelum ia menyapa pantai? Kerinduan Hamba pada Tuan Putri serupa deburan ombak itu Tuan Putri, begitu dalam dan sederhana.
Sering Hamba berandai-andai, ingin mengajak Tuan Putri untuk menunggangi si Putih, bersama-sama melihat keindahan alam diluar istana. Tuan Putri, betapa alam ini amat mengangumkan, gunung-gunung berdiri tegak dengan puncaknya yang hijau, bunga-bunga bermekaran menambahi indahnya ladang-ladang, cericit-cericit suara burung terdengar merdu seperti deru angin sepoi, dan awan-awan yang menghiasi langit serupa pameran lukisan-lukisan termegah di kehidupan ini. Namun, apalah artinya semua keindahan itu jika hanya dinikmati seorang diri, tak ada artinya Tuan Putri. Yang ada hanya sebatas kekaguman belaka atas semua keindahan, lalu memuji Sang Pemilik semua keindahan ini.
Dan, begitu pula halnya dengan semua keindahan yang ada dalam istana, akan tidak bermakna kalau hanya sebatas untuk dinikmati Tuan Putri sendiri. Begitulah hidup, Tuan Putri. Kita semuanya ingin sama-sama menyaksikan hidup orang yang paling kita sayangi, dan dia pun juga mengharapkan kita untuk menjadi saksi hidupnya. Agar dikemudian hari saat kita terlempar ke masa lalu akan ada orang yang menanggapinya, kemudian mungkin kita akan sama-sama tersenyum, terbahak, atau bersama-sama menangis.
Tuan Putri, hari ini Hamba terluka, busur anak panah menancap tepat dipaha kiri Hamba. Untunglah anak panah itu tidak beracun, dan mungkin beberapa hari lagi akan mengering.
Tuan Putri, sepertinya beberapa prajurit sudah tahu tentang kekaguman Hamba terhadap Tuan Putri. Selepas anak panah itu dicabut dari paha Hamba membuat malam-malam Hamba menjadi begitu dingin dan berkeringat. Dan dalam setiap guman, hati Hamba selalu memanggil Tuan Putri. Ketika pulas bibir Hamba seringkali menyebut-menyebut Tuan Putri. Dari igauan inilah kemudian banyak prajurit yang tahu tentang rahasia terdalam lubuk hati Hamba. Tapi biarlah, Hamba tidak peduli sekalipun seluruh pasukan Hamba telah mengetahui semua ini. Karena mencintai dan menyayangi seorang pada akhirnya secara perlahan akan nampak kepermukaan. Bukankah begitu, Tuan Putri?
Tuan Putri, karena hari sudah menjelang sore, sebentar lagi keindahan mega ini segera akan dirampas oleh malam mungkin Hamba cukupkan sampai disini dulu surat Hamba. Hamba berjanji akan selalu menyurati Tuan Putri, sepanjang tubuh ini tidak terbelah oleh tebasan pedang atau tusukan tombak. Doa’kan selalu untuk kemenangan semua pertempuran Hamba, demi kejayaaan negeri kita untuk saat ini dan saat-saat mendatang.
“Cukuplah melihat Venus dimalam hari sebagai pelipur lara rasa rindu Hamba pada Tuan Putri di negeri yang jauh ini.”
Sang Panglima
21.05.07
Surat Tuan Putri (3)
Surat Rindu Tuk Tuan Putri
Wajah Tuan Putri datang mengganggu dalam setiap desehan nafas Hamba malam ini. Jujurlah, pernahkah Tuan Putri merindui Hamba walau hanya dalam sekejap, seperti begitu ingin melihat Hamba, dan ingin selalu disamping Hamba? Entahlah, Hamba tidak tahu mengapa rindu Hamba pada Tuan Putri begitu kuat dalam setiap malam-malam Hamba, dan bahkan menjelang tidur Hamba selalu meminta pada Yang Maha Welas Asih agar dapat berjumpa dengan Tuan Putri, sekalipun itu hanya dalam mimpi. Lukisan yang pernah Tuan Putri berikan pada Hamba, merupakan satu-satunya obat pelipur rindu termujarab bagi hati Hamba dalam setiap kerinduan Hamba.
Tuan Putri, Hamba merasa malu pada diri sendiri dengan kerinduan yang seringkali datang ini. Tapi, apa boleh dikata, kerinduan Hamba pada Tuan Putri adalah tamu di taman hati yang sama tak pernah Hamba undang kedatangannya.
Untuk menghilangkan kerinduan ini, Hamba seringkali berjalan-jalan dengan tanpa di temani Si Putih. Dan tempat-tempat yang sering Hamba datangi dalam setiap kerinduan Hamba biasanya dataran-dataran yang tandus. Karena, dengan duduk seorang diri di dataran yang tandus dapat melihat keindahan bintang Venus, sebagai sebuah perwujudan Tuan Putri bagi Hamba disini.
Ampun, berjuta ampun, karena telah jatuh hati pada Tuan Putri. Katakan apa yang harus Hamba lakukan dengan perasaan Hamba ini? Hamba Tahu mencintai dan menyukai Tuan Putri merupakan kesalahan terbesar bagi seorang prajurit. Apalagi seorang panglima seperti Hamba ini. Namun, adakah penjelasan dalam kitab Empu Tantular, Mahabarata, macopat, atau dalam kitab Bima Sakti bahwa jatuh cinta adalah sesuatu yang terlarang?
Tuan Putri, hampir semua karya Yasadipura yang mengajarkan tentang etika, estetika, kebaikan dan keindahan sudah Hamba baca. Dan didalamnya tidak pernah Hamba temukan kalau mencintai itu perbuatan dosa. Hamba tidak sedang bermaksud membela diri,Tuan Putri. Sekedar hanya ingin menuliskan kejujuran hati hamba pada Tuan Putri.
Hamba Mendengar bulan ini adalah hari-hari yang penuh keberuntungan bagi Tuan Putri. Kebahagian Tuan Putri memiliki ruang tersendiri dihati Hamba. Kebahagian Tuan Putri merupakan doa’ Hamba. Hamba tidak ingin melihat Tuan Putri bersedih hati, gundah gulana, patah semangat, tidak bergairah, atau putus asa.
Dan sepanjang Hamba masih hidup, membahagiakan Tuan Putri merupakan sebuah kewajiban bagi Hamba. Semoga dewi Fortuna itu tidak hanya datang dalam bulan-bulan ini, tetapi selalu datang setiap saat kepada Tuan Puntri.
Tuan Putri, Hamba rela mengembara dalam jarak yang bermil-mil demi sebuah kebahagian Tuan Putri. Tidak peduli dengan terik panas, guyuran hujan, jalan yang terjal, hutan belukar, dan ketinggian gunung tetap akan Hamba hadapi demi sebuah kebagian Tuan Putri. Pengabdian Hamba pada tanah air ini tak lain sekedar hanya ingin melihat Tuan Putri bahagia selalu. Yah, semua apa yang hamba lakukan selama ini hanya untuk Anda, Tuan Putri
Cukuplah sampai disin kejujuran pena hati Hamba malam ini, karena Hamba harus mengambalikan benda kaca pencari energi pada teman Hamba. Dan juga untuk sekalian mencarikan beberapa lembaran daun yang dititahkan Tuan Putri pada Hamba sore tadi. Selamat Malam, Tuan Putri. Hamba amat sangat merindui Anda. Sungguh.
Sang Panglima
25.05.07
Wajah Tuan Putri datang mengganggu dalam setiap desehan nafas Hamba malam ini. Jujurlah, pernahkah Tuan Putri merindui Hamba walau hanya dalam sekejap, seperti begitu ingin melihat Hamba, dan ingin selalu disamping Hamba? Entahlah, Hamba tidak tahu mengapa rindu Hamba pada Tuan Putri begitu kuat dalam setiap malam-malam Hamba, dan bahkan menjelang tidur Hamba selalu meminta pada Yang Maha Welas Asih agar dapat berjumpa dengan Tuan Putri, sekalipun itu hanya dalam mimpi. Lukisan yang pernah Tuan Putri berikan pada Hamba, merupakan satu-satunya obat pelipur rindu termujarab bagi hati Hamba dalam setiap kerinduan Hamba.
Tuan Putri, Hamba merasa malu pada diri sendiri dengan kerinduan yang seringkali datang ini. Tapi, apa boleh dikata, kerinduan Hamba pada Tuan Putri adalah tamu di taman hati yang sama tak pernah Hamba undang kedatangannya.
Untuk menghilangkan kerinduan ini, Hamba seringkali berjalan-jalan dengan tanpa di temani Si Putih. Dan tempat-tempat yang sering Hamba datangi dalam setiap kerinduan Hamba biasanya dataran-dataran yang tandus. Karena, dengan duduk seorang diri di dataran yang tandus dapat melihat keindahan bintang Venus, sebagai sebuah perwujudan Tuan Putri bagi Hamba disini.
Ampun, berjuta ampun, karena telah jatuh hati pada Tuan Putri. Katakan apa yang harus Hamba lakukan dengan perasaan Hamba ini? Hamba Tahu mencintai dan menyukai Tuan Putri merupakan kesalahan terbesar bagi seorang prajurit. Apalagi seorang panglima seperti Hamba ini. Namun, adakah penjelasan dalam kitab Empu Tantular, Mahabarata, macopat, atau dalam kitab Bima Sakti bahwa jatuh cinta adalah sesuatu yang terlarang?
Tuan Putri, hampir semua karya Yasadipura yang mengajarkan tentang etika, estetika, kebaikan dan keindahan sudah Hamba baca. Dan didalamnya tidak pernah Hamba temukan kalau mencintai itu perbuatan dosa. Hamba tidak sedang bermaksud membela diri,Tuan Putri. Sekedar hanya ingin menuliskan kejujuran hati hamba pada Tuan Putri.
Hamba Mendengar bulan ini adalah hari-hari yang penuh keberuntungan bagi Tuan Putri. Kebahagian Tuan Putri memiliki ruang tersendiri dihati Hamba. Kebahagian Tuan Putri merupakan doa’ Hamba. Hamba tidak ingin melihat Tuan Putri bersedih hati, gundah gulana, patah semangat, tidak bergairah, atau putus asa.
Dan sepanjang Hamba masih hidup, membahagiakan Tuan Putri merupakan sebuah kewajiban bagi Hamba. Semoga dewi Fortuna itu tidak hanya datang dalam bulan-bulan ini, tetapi selalu datang setiap saat kepada Tuan Puntri.
Tuan Putri, Hamba rela mengembara dalam jarak yang bermil-mil demi sebuah kebahagian Tuan Putri. Tidak peduli dengan terik panas, guyuran hujan, jalan yang terjal, hutan belukar, dan ketinggian gunung tetap akan Hamba hadapi demi sebuah kebagian Tuan Putri. Pengabdian Hamba pada tanah air ini tak lain sekedar hanya ingin melihat Tuan Putri bahagia selalu. Yah, semua apa yang hamba lakukan selama ini hanya untuk Anda, Tuan Putri
Cukuplah sampai disin kejujuran pena hati Hamba malam ini, karena Hamba harus mengambalikan benda kaca pencari energi pada teman Hamba. Dan juga untuk sekalian mencarikan beberapa lembaran daun yang dititahkan Tuan Putri pada Hamba sore tadi. Selamat Malam, Tuan Putri. Hamba amat sangat merindui Anda. Sungguh.
Sang Panglima
25.05.07
Surat Tuk Tuan Putri (4)
Hamba Kembali Menyapa.
Bagaimana keadaan Tuan Putri saat ini? Hamba dengar katanya Tuan Putri sedang sakit. Semoga itu hanya sakit biasa. Hamba baru usai dari sebuah peperangan yang cukup amat melelahkan. Kini sudah banyak daerah yang berhasil kami taklukkan. Tetapi, lagi-lagi hamba kehilangan banyak prajurit yang tangguh dan gagah berani.
Memang begitulah yang namanya pertempuran Tuan Putri, maut datang mengintai setiap waktu, entah dalam kecamuk perang atau di dalam tenda-tenda. Seorang teman yang hari ini duduk-duduk bersama mungkin hari ini, besok, atau lusa akan gugur satu-persatu. Tapi kami tidak akan pernah menyerah dan mundur. Kami tidak akan pernah merasa takut, walau musuh berlari dengan cepat sembari membawa tombak dan pedang, yang telah diasah untuk merobek dan menebas jiwa dan raga kami.
Lalu bagaimana dengan Tuan Putri sendiri. Takutkah Tuan Putri kalau Istana yang ditinggali saat ini suatu saat direbut oleh pihak musuh? Adakah ketakutan pada Tuan Putri kalau orang-orang yang saat ini setia pada Tuan Putri kelak akan meninggalkan Tuan Putri seorang diri?
Ketakutan dan kekawatiran itu mungkin sekali terjadi. Tuan Putri yang hamba hormati, tidak ada kepastian bahwa apa yang Tuan Putri sentuh sekarang ini besok akan bisa dipegang lagi. Begitu pun dengan singgasana Tuan Putri sendiri.
Maaf Tuan Putri, hamba tidak sedang menakut-nekuti. Hamba hanya sekedar ingin berbagi cerita yang sering hamba jalani sebagai seorang panglima. Dikehidupan ini tidak ada kekuasaan yang abadi, semua akan pudar bersama waktu.
Mungkin hanya cukup disini dulu surat hamba untuk Tuan Putri. Hamba akan kembali menyurati Tuan Putri tentu kalau hamba tidak gugur dalam sebuah pertempuran besok pagi.
Sang Panglima
Bagaimana keadaan Tuan Putri saat ini? Hamba dengar katanya Tuan Putri sedang sakit. Semoga itu hanya sakit biasa. Hamba baru usai dari sebuah peperangan yang cukup amat melelahkan. Kini sudah banyak daerah yang berhasil kami taklukkan. Tetapi, lagi-lagi hamba kehilangan banyak prajurit yang tangguh dan gagah berani.
Memang begitulah yang namanya pertempuran Tuan Putri, maut datang mengintai setiap waktu, entah dalam kecamuk perang atau di dalam tenda-tenda. Seorang teman yang hari ini duduk-duduk bersama mungkin hari ini, besok, atau lusa akan gugur satu-persatu. Tapi kami tidak akan pernah menyerah dan mundur. Kami tidak akan pernah merasa takut, walau musuh berlari dengan cepat sembari membawa tombak dan pedang, yang telah diasah untuk merobek dan menebas jiwa dan raga kami.
Lalu bagaimana dengan Tuan Putri sendiri. Takutkah Tuan Putri kalau Istana yang ditinggali saat ini suatu saat direbut oleh pihak musuh? Adakah ketakutan pada Tuan Putri kalau orang-orang yang saat ini setia pada Tuan Putri kelak akan meninggalkan Tuan Putri seorang diri?
Ketakutan dan kekawatiran itu mungkin sekali terjadi. Tuan Putri yang hamba hormati, tidak ada kepastian bahwa apa yang Tuan Putri sentuh sekarang ini besok akan bisa dipegang lagi. Begitu pun dengan singgasana Tuan Putri sendiri.
Maaf Tuan Putri, hamba tidak sedang menakut-nekuti. Hamba hanya sekedar ingin berbagi cerita yang sering hamba jalani sebagai seorang panglima. Dikehidupan ini tidak ada kekuasaan yang abadi, semua akan pudar bersama waktu.
Mungkin hanya cukup disini dulu surat hamba untuk Tuan Putri. Hamba akan kembali menyurati Tuan Putri tentu kalau hamba tidak gugur dalam sebuah pertempuran besok pagi.
Sang Panglima
Samurai
Lelaki itu terjatuh. Roboh. Ususnya terburai keluar. Lalu darah mengalir seperti air. Segar dan menggenang.
“kenapa ia membunuh dirinya sendiri?”, tanyaku pada ayah suatu malam setelah kami menonton sebuah film tentang samurai. “Bukankah itu perbuatan bodoh?”, tanyaku lagi tak sabar. Ayah hanya tersenyum, “kau lihat saja dulu saja film itu”.
Ayah memang sering sekali mengajakku menonton film-film. Malam itu ayah mengajakku menonton film samurai, kau akan belajar sesuatu, bisiknya sore tadi sambil merangkul pundakku ketika ia mengajakku sore tadi.
Lelaki itu mati. Tubuhnya kini hanya menjadi bangkai. Lima orang lelaki yang bersamanya tadi mulai pergi satu persatu. Yang tua lebih dulu, ia gurunya, kemudian disusul empat orang teman seperguruannya yang lain. Jejak mereka telah terpacak. Angin senja menjatuhkan daundaun dari pohonan. Lalu senja beranjak gelap.
“Ayah beluim menjawab pertanyaanku tadi”, tanyaku lagi dengan nada menagih.
“Baiklah”, suara ayah begitu dalam, seperti biasanya, “namanya harakiri”.
“Harakiri?”, aku membenarkan posisi dudukku, memasang mata dan telingku baik-baik, aku mulai tertarik dengan apa yang akan ayah sampaikan. Memang beginilah biasanya. Ayah selalu mengajarkan sesuatu setelah kami menonton sebuah film. Minggu lalu ayah mengajariku sesuatu lewat cerita Promotheus. Tetapi sampai saat ini cerita favoritku masih cerita soal Guruminda.
“Harakiri adalah bunuh diri yang dilakukan seorang samurai karena dia kalah bertarung atau melanggar sumpah samurai?” lanjut ayah, “seorang samurai bahkan bisa melakukan harakiri hanya jika ikatan rambutnya berhasil ditebas lawan”.
“Itu perbuatan bodoh.” Potongku kesal.
“Tidak, nak. Itulah samurai. Para Samurai melakukannya karena harga dir mereka telah tercerabut dari tempatnya. Dan bagi para samurai, harga diri adalah segala-galanya”.
Aku mengangguk. “Tapi, bukankah itu sebuah pelanggaran terhadap kodrat manusia yang seharusnya mempertahankan nyawa mereka sebelum Tuhan berkehendak mencabutnya?”, tanyaku lagi. “Bukankah ayah juga pernah bercerita tentang orang-orang yang membunuh dirinya sendiri di masa Nabi, lalu Tuhan menegur mereka lewat sebuah firman?”
“Kau benar, nak”, jawab ayah, “tetapi, malam ini kau akan belajar soal harga diri, pengorbanan, dan kesetiaan pada sumpah. Dan bagi seorang samurai, karena harga diri adalah sega-galanya, maka mereka lebih memilih mati di tangan mereka sendiri daripada harus berkhianat dan menjadi seorang pengecut. Itulah harakiri,” lanjut ayah.
Aku mengangguk. Malam sudah mulai larut. Kantuk diam-diam mulai memberat di mataku.
***
“Kau juga harus seperti para samurai, nak.”
“Apakah ayah menyuruhku bunuh diri daripada dituduh pengecut atau harus menanggung malu?”
“Tidak, nak, pelajaran dari para samurai adalah soal menjunjung tinggi harga diri, kesetiaan pada nilai-nilai kehidupan, dan tanggung jawab.”
“Aku tak mengerti maksud ayah”.
“Seorang samurai tidak lari dari pertempuran yang sedang ia jalani. Seorang samurai akan bertempur sampai mati. Demi harga diri, demi tanggung jawab. Dia akan tetap berlari memegang pedangnya sampai darah terakhir dari tubuhnya kering. Ia Ia akan terus berlari sebelum nyawanya benar-benar terbang, sepisau nyeri apapun luka di tubuhnya”, aku selalu suka melihat ayah berkobar-kobar seperti ini. Suaranya begitu berat dan dalam. Kelak suatu saat aku ingin seperti dia, selalu mngejarkan banyak hal pada anakku nanti.
Puluhan samurai terus berlari menghunus pedang mereka. Hujan anak panah musuh. Rumput-rumput berteriak menyaksikan darah mengalir di atas tubuh mereka. Para samurai terkulai satu per satu. Tumbang. Satu, tujuh, sepuluh...tiga belas. Luka anak panah menggenang darah di tanah. Rumput-rumput kini mengidung dalam sekali, megatruh.
“Lihat anakku, tak ada satu pun di antara mereka yang bersembunyi atau melarikan diri. Mereka terus melawan sampai sayap-sayap kematian terbang dan darah mengalir sampai akhir”.
Kami berdua terus menyaksikan adegan demi adegan dalam pertempuran sengit tersebut. Darah memuncrat dari salah seorang samurai setelah kepalanya tertebas. Tangan terpotong. Tubuh ditikam dari belakang. Bunyian aduan samurai memecahkan kesunyian malam dibawah purnama.
Sekawanan ninja menebas seorang samurai dari belakang.
“Nak, kau jangan seperti mereka!” ayahku menunjuk ninja-ninja yang membunuh Samurai dari belakang. “Mereka tidak berani menghadapi lawannya dengan jantan. Tidak ada kebanggaan baginya sekalipun dia telah membunuh puluhan orang.”
Ayah membenarkan posisi duduknya kali ini ia bersandar, “dalam sebuah pertempuran, hidup dan mati bukanlah sebuah pilihan. Dalam peperangan pilihan adalah membunuh atau terbunuh. Kalah atau menang. Menyerang atau menyerah. Itulah hukumya. Seperti dalam kehidupan, mati bukanlah pilihan. Pilihan adalah soal menjadi pemenang atau pecundang.”
Kantuk semakin memberat di ujung mata. Baru saja filmnya selesai. Ayah menyuruhku bergegas tidur.
***
Pagi selepas sholat subuh aku dan ayah kembali melanjutkan diskusi. “Yah, apakah samurai dibuat untuk membunuh?”, tanyaku di sela lari-lari kecil.
Ayah menghentikan langkahnya, “Tidak, nak. Samurai adalah lambang kewaspadaan, mawas diri, dan simbol kesatria”.
“Saya tidak mengerti,Yah?”.
“Nak, hidup ini kadang keras tanpa sebuah alasan. Dan kadang juga damai tanpa sebuah perjuangan. Para samurai menyadari semua itu, belajar berperang sama artinya siap menghadapi konsekuensi kehidupan”. Jelas ayah sambil tersenyum.
“Ayah, boleh aku bertanya tentang satu hal?”, pintaku. “Tentang apa, nak?” balik tanya ayah dan memegang pundakku. “Apa yang paling dibutuhkan dalam sebuah peperangan?”
“Tehnik, Nak.” Spontan ayah menjawab penuh semangat.
“Ratusan atau pun ribuan pasukan bukanlah jaminan tuk memenangkan sebuah pertempuran,Nak. Kau harus tahu kekuatan musuh dan kelemahan dirimu sendiri. Dan, kau harus mencari jawaban bagaimana tuk mengalahkan musuhmu.” Ayah berhenti sejenak, menarik nafas. Pesan ayah ini melemparkanku pada legenda kemengan Separtakus ketika menghadapi berperang dengan tentara Romawi. Separtakus adalah simbol perlawanan para budak terhadap tuannya. Dia mampu mengalahkan pasukan Romawi karena dia mengusai taknik berperang dan tahu kelemahan pasukan Romawi.
“Kamu masih ingat siasat perang Garuda Ngalayang dalam perang Baratayuda?”, tanya ayah tentang cerita Pewayangan Jawa.
“Iya, Yah saya ingat?, kataku.
Dalam perang Baratayuda pihak pendawa menggunakan siasat Burung Garuda Melayang. Arjuna menjadi patuknya, Prabu Drupada menjadi kepalanya, Prabu Kresna duduk sekereta dengan Arjunna. Drustajumna menduduki sayap kanan, Wrekodara sayap kiri, Setyaki menjadi ekor, para raja berkelompok di tengkuk di sekeliling Prabu Yudistira. “Para Pendawa dan Korawa itu tidak hanya bermodalkan keberanian dan ketangkasan berperang, Nak. Tapi mereka memiliki tehnik yang mengagumkan untuk mengalahkan musuhnya.” Matahari sudah muncul di ufuk timur, jalanan sudah mulai ramai dengan puluhan mobil dan kendaran bermotor.
“Nak, menghadapi hidup pun juga membutuhkan tehnik!. Tidak asal menjalani adanya, kamu harus memiliki taktik bagaimana agar roda zaman tidak melindasmu begitu saja”.
“Lalu apalagi, Yah?”
“Senjata! Kamu harus punya sesuatu yang bisa diandalkan. Buat dia ketakutan setiap kali mendengar namamu disebut-sebut”.
“Apa yang membuat Arjuna di takuti oleh para musuhnya?”, kali ini ayah balik tanya.
“Dia memiliki Panah Pesopati, Trisoela, dan Ardadedali”, jawabku.
“Tepat sekali, Nak”.
“Kau pun juga harus seperti Arjuna jangan seperti gelandangan itu”, kata ayah sembari menununjuk ke gelandangan yang masih tidur pulas di emperan toko.
“Lihat nak, betapa malangnya dirinya,” lanjut ayah.
“Bukankah itu sudah takdir, Yah?”, Tanyaku tidak puas.
“Tidak, Nak. Itu bukan kehendak Tuhan. Setiap manusia adalah nakhoda bagi kehidupannya sendiri”, Balas ayah.
“Kau lihat mobil itu! Ia akan tetap diam kalau tak ada orang yang mengemudikannya. Hidup ini pun juga demikian, kita tidak akan pernah bisa hebat kalau dalam diri ini tidak ada keinginan tuk kesana?. Dan kita sendirilah sang sopir tuk menjalankan roda hidup kita, bukan orang lain, Nak!”.
“Ingat, Nak. Kamu harus memiliki siasat dan senjata tuk menjadi sang juara. Tanpa itu kamu jangan pernah bermimpi menjadi sang pemenang. Dan bertarunglah seperti para samurai”.
“Apa kamu sanggup, nak?”, tanya ayah setibanya di depan halaman rumah.
“Siap, Yah!”, kataku penuh percaya diri.
Jogja-09-09-06
“kenapa ia membunuh dirinya sendiri?”, tanyaku pada ayah suatu malam setelah kami menonton sebuah film tentang samurai. “Bukankah itu perbuatan bodoh?”, tanyaku lagi tak sabar. Ayah hanya tersenyum, “kau lihat saja dulu saja film itu”.
Ayah memang sering sekali mengajakku menonton film-film. Malam itu ayah mengajakku menonton film samurai, kau akan belajar sesuatu, bisiknya sore tadi sambil merangkul pundakku ketika ia mengajakku sore tadi.
Lelaki itu mati. Tubuhnya kini hanya menjadi bangkai. Lima orang lelaki yang bersamanya tadi mulai pergi satu persatu. Yang tua lebih dulu, ia gurunya, kemudian disusul empat orang teman seperguruannya yang lain. Jejak mereka telah terpacak. Angin senja menjatuhkan daundaun dari pohonan. Lalu senja beranjak gelap.
“Ayah beluim menjawab pertanyaanku tadi”, tanyaku lagi dengan nada menagih.
“Baiklah”, suara ayah begitu dalam, seperti biasanya, “namanya harakiri”.
“Harakiri?”, aku membenarkan posisi dudukku, memasang mata dan telingku baik-baik, aku mulai tertarik dengan apa yang akan ayah sampaikan. Memang beginilah biasanya. Ayah selalu mengajarkan sesuatu setelah kami menonton sebuah film. Minggu lalu ayah mengajariku sesuatu lewat cerita Promotheus. Tetapi sampai saat ini cerita favoritku masih cerita soal Guruminda.
“Harakiri adalah bunuh diri yang dilakukan seorang samurai karena dia kalah bertarung atau melanggar sumpah samurai?” lanjut ayah, “seorang samurai bahkan bisa melakukan harakiri hanya jika ikatan rambutnya berhasil ditebas lawan”.
“Itu perbuatan bodoh.” Potongku kesal.
“Tidak, nak. Itulah samurai. Para Samurai melakukannya karena harga dir mereka telah tercerabut dari tempatnya. Dan bagi para samurai, harga diri adalah segala-galanya”.
Aku mengangguk. “Tapi, bukankah itu sebuah pelanggaran terhadap kodrat manusia yang seharusnya mempertahankan nyawa mereka sebelum Tuhan berkehendak mencabutnya?”, tanyaku lagi. “Bukankah ayah juga pernah bercerita tentang orang-orang yang membunuh dirinya sendiri di masa Nabi, lalu Tuhan menegur mereka lewat sebuah firman?”
“Kau benar, nak”, jawab ayah, “tetapi, malam ini kau akan belajar soal harga diri, pengorbanan, dan kesetiaan pada sumpah. Dan bagi seorang samurai, karena harga diri adalah sega-galanya, maka mereka lebih memilih mati di tangan mereka sendiri daripada harus berkhianat dan menjadi seorang pengecut. Itulah harakiri,” lanjut ayah.
Aku mengangguk. Malam sudah mulai larut. Kantuk diam-diam mulai memberat di mataku.
***
“Kau juga harus seperti para samurai, nak.”
“Apakah ayah menyuruhku bunuh diri daripada dituduh pengecut atau harus menanggung malu?”
“Tidak, nak, pelajaran dari para samurai adalah soal menjunjung tinggi harga diri, kesetiaan pada nilai-nilai kehidupan, dan tanggung jawab.”
“Aku tak mengerti maksud ayah”.
“Seorang samurai tidak lari dari pertempuran yang sedang ia jalani. Seorang samurai akan bertempur sampai mati. Demi harga diri, demi tanggung jawab. Dia akan tetap berlari memegang pedangnya sampai darah terakhir dari tubuhnya kering. Ia Ia akan terus berlari sebelum nyawanya benar-benar terbang, sepisau nyeri apapun luka di tubuhnya”, aku selalu suka melihat ayah berkobar-kobar seperti ini. Suaranya begitu berat dan dalam. Kelak suatu saat aku ingin seperti dia, selalu mngejarkan banyak hal pada anakku nanti.
Puluhan samurai terus berlari menghunus pedang mereka. Hujan anak panah musuh. Rumput-rumput berteriak menyaksikan darah mengalir di atas tubuh mereka. Para samurai terkulai satu per satu. Tumbang. Satu, tujuh, sepuluh...tiga belas. Luka anak panah menggenang darah di tanah. Rumput-rumput kini mengidung dalam sekali, megatruh.
“Lihat anakku, tak ada satu pun di antara mereka yang bersembunyi atau melarikan diri. Mereka terus melawan sampai sayap-sayap kematian terbang dan darah mengalir sampai akhir”.
Kami berdua terus menyaksikan adegan demi adegan dalam pertempuran sengit tersebut. Darah memuncrat dari salah seorang samurai setelah kepalanya tertebas. Tangan terpotong. Tubuh ditikam dari belakang. Bunyian aduan samurai memecahkan kesunyian malam dibawah purnama.
Sekawanan ninja menebas seorang samurai dari belakang.
“Nak, kau jangan seperti mereka!” ayahku menunjuk ninja-ninja yang membunuh Samurai dari belakang. “Mereka tidak berani menghadapi lawannya dengan jantan. Tidak ada kebanggaan baginya sekalipun dia telah membunuh puluhan orang.”
Ayah membenarkan posisi duduknya kali ini ia bersandar, “dalam sebuah pertempuran, hidup dan mati bukanlah sebuah pilihan. Dalam peperangan pilihan adalah membunuh atau terbunuh. Kalah atau menang. Menyerang atau menyerah. Itulah hukumya. Seperti dalam kehidupan, mati bukanlah pilihan. Pilihan adalah soal menjadi pemenang atau pecundang.”
Kantuk semakin memberat di ujung mata. Baru saja filmnya selesai. Ayah menyuruhku bergegas tidur.
***
Pagi selepas sholat subuh aku dan ayah kembali melanjutkan diskusi. “Yah, apakah samurai dibuat untuk membunuh?”, tanyaku di sela lari-lari kecil.
Ayah menghentikan langkahnya, “Tidak, nak. Samurai adalah lambang kewaspadaan, mawas diri, dan simbol kesatria”.
“Saya tidak mengerti,Yah?”.
“Nak, hidup ini kadang keras tanpa sebuah alasan. Dan kadang juga damai tanpa sebuah perjuangan. Para samurai menyadari semua itu, belajar berperang sama artinya siap menghadapi konsekuensi kehidupan”. Jelas ayah sambil tersenyum.
“Ayah, boleh aku bertanya tentang satu hal?”, pintaku. “Tentang apa, nak?” balik tanya ayah dan memegang pundakku. “Apa yang paling dibutuhkan dalam sebuah peperangan?”
“Tehnik, Nak.” Spontan ayah menjawab penuh semangat.
“Ratusan atau pun ribuan pasukan bukanlah jaminan tuk memenangkan sebuah pertempuran,Nak. Kau harus tahu kekuatan musuh dan kelemahan dirimu sendiri. Dan, kau harus mencari jawaban bagaimana tuk mengalahkan musuhmu.” Ayah berhenti sejenak, menarik nafas. Pesan ayah ini melemparkanku pada legenda kemengan Separtakus ketika menghadapi berperang dengan tentara Romawi. Separtakus adalah simbol perlawanan para budak terhadap tuannya. Dia mampu mengalahkan pasukan Romawi karena dia mengusai taknik berperang dan tahu kelemahan pasukan Romawi.
“Kamu masih ingat siasat perang Garuda Ngalayang dalam perang Baratayuda?”, tanya ayah tentang cerita Pewayangan Jawa.
“Iya, Yah saya ingat?, kataku.
Dalam perang Baratayuda pihak pendawa menggunakan siasat Burung Garuda Melayang. Arjuna menjadi patuknya, Prabu Drupada menjadi kepalanya, Prabu Kresna duduk sekereta dengan Arjunna. Drustajumna menduduki sayap kanan, Wrekodara sayap kiri, Setyaki menjadi ekor, para raja berkelompok di tengkuk di sekeliling Prabu Yudistira. “Para Pendawa dan Korawa itu tidak hanya bermodalkan keberanian dan ketangkasan berperang, Nak. Tapi mereka memiliki tehnik yang mengagumkan untuk mengalahkan musuhnya.” Matahari sudah muncul di ufuk timur, jalanan sudah mulai ramai dengan puluhan mobil dan kendaran bermotor.
“Nak, menghadapi hidup pun juga membutuhkan tehnik!. Tidak asal menjalani adanya, kamu harus memiliki taktik bagaimana agar roda zaman tidak melindasmu begitu saja”.
“Lalu apalagi, Yah?”
“Senjata! Kamu harus punya sesuatu yang bisa diandalkan. Buat dia ketakutan setiap kali mendengar namamu disebut-sebut”.
“Apa yang membuat Arjuna di takuti oleh para musuhnya?”, kali ini ayah balik tanya.
“Dia memiliki Panah Pesopati, Trisoela, dan Ardadedali”, jawabku.
“Tepat sekali, Nak”.
“Kau pun juga harus seperti Arjuna jangan seperti gelandangan itu”, kata ayah sembari menununjuk ke gelandangan yang masih tidur pulas di emperan toko.
“Lihat nak, betapa malangnya dirinya,” lanjut ayah.
“Bukankah itu sudah takdir, Yah?”, Tanyaku tidak puas.
“Tidak, Nak. Itu bukan kehendak Tuhan. Setiap manusia adalah nakhoda bagi kehidupannya sendiri”, Balas ayah.
“Kau lihat mobil itu! Ia akan tetap diam kalau tak ada orang yang mengemudikannya. Hidup ini pun juga demikian, kita tidak akan pernah bisa hebat kalau dalam diri ini tidak ada keinginan tuk kesana?. Dan kita sendirilah sang sopir tuk menjalankan roda hidup kita, bukan orang lain, Nak!”.
“Ingat, Nak. Kamu harus memiliki siasat dan senjata tuk menjadi sang juara. Tanpa itu kamu jangan pernah bermimpi menjadi sang pemenang. Dan bertarunglah seperti para samurai”.
“Apa kamu sanggup, nak?”, tanya ayah setibanya di depan halaman rumah.
“Siap, Yah!”, kataku penuh percaya diri.
Jogja-09-09-06
Minggu, 24 Juni 2007
Berani Mengatakan Tidak
‘Bisnis pasir’ yang dilakukan Negara tetangga dengan mengeduk besar-besaran pasir laut Indonesia untuk memperluas wilayah negaranya telah berjalan dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun (sejak 1978). Ekspor pasir laut ke Singapura ini awalnya merupakan kebutuhan untuk pendalaman proyek pelabuhan Batam. Pendalaman alur pelabuhan ini dimaksudkan untuk memudahkan keluar masuk lalu lintas kapal di pelabuhan Batam. Untuk mewujudkan proyek ini, budget yang besar pun dibutuhkan. Di sisi lain Singapura saat itu sedang membutuhkan pasir laut dalam proyek reklamasi untuk memperluas wilayahnya. Maka terjadilah akat jual beli pasir laut antara pihak Otoritas Batam dengan Singpura karena dipertemukan dua kebutuhan tadi.
Pengelolaan dan pemanfaatan pasir laut di Provinsi Riau sudah dimuat dalam Kepres No. 41/1973 tentang penetapan wilayah usaha di Pulau Batam, dan diperkuat lagi dengan Surat Menteri Pertambangan dan Energi No. 370/K/MPE/1985 mengenai kewenangan pihak Otoritas Batam dalam pemberian izin penambangan pasir laut di kepulau tersebut. Kemudian pada 1976 muncul lah tujuh pemain besar dalam bisnis ini: PT Equator Reka Citra, PT Indoguna Yuda Persada, PT Barelang Sugi Bulang, PT Nalendra Bhakti Persada, PT Sangkala Duta Segara, PT Sugi Malaya, dan PT Citra Harapan Abadi, yang kesemuanya menjadi tangan kanan dalam proyek penjualan pasir laut ke Singapura.
Penjualan pasir laut tersebut pun terus berlanjut menjadi ajang bisnis. Para ‘cukong’ terus saja mengeruk pasir yang ada di beberapa pulau kecil di wilayah kepulauan Riau karena tergiur Dollar Singapura, tanpa perduli terhadap kerusakan lingkungan dan mengikisnya batas territorial kita. Karena harga yang harus bayar relatif murah, Singapura pun begitu menikmati bsinis ini.
Berasarkan data Kementerian Kelautan, akibat mengeruk pasir dari Indonesia, wilayah Singapura bertambah sekitar 20 % pada 2001. Luas negara yang melepaskan diri dari Malaysia pada 1965 ini pun bertambah dari 633 menjadi 760 kilometer persegi. Dan kalau melihat data dari Deperindag, diperkirakan lebih 60 % ekspor pasir laut ke Singapura tersebut ilegal. Penambangan pasir ilegal ini menyebabkan dalam satu tahun Indonesia secara ekonomi dirugikan sebesar Rp 2,25 triliun atau sekitar 248,89 juta dollar Singapura–angka yang sangat fantastis!
Proyek-proyek reklamasi yang sudah selesai dikerjakan oleh Singapura diantaranya Lapangan Terbang Changi I dan II, Proyek East Cost, Proyek Tanjung Rhu, Siloso Beach Resort (tempat yang dirancang untuk wisata di Pulau Sentosa). Penambahan wilayah ini dikemudian hari akan berdampak pada semakin luasnya wilayah laut teritorial negara yang berpenduduk 4 juta jiwa tersebut. Artinya, Indonesia sekarang harus bersiap-siap kehilangan pulau-pulaunya yang berada diperbatasan, karena akan masuk ke dalam wilayah territorial Singapura. Atau tenggelam karena kehabisan daratan. Konsekuensi lain yang harus ditanggung Indonesia adalah rusaknya ekosistem dan habitat kelautan. Hal ini tentu akan berdampak langsung terhadap kehidupan para nelayan di kepualaun Riau.
“Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali”. Mungkin hal itu yang lebih tepat dilakukan pemerintah saat ini. Pelarangan penjualan pasir laut dan pasir darat harus dihentikan dari sekarang. Karena ini sudah menyangkut masa depan wilayah teritorial bangsa Indonesia. Pemerintah harus berani mengambil langkah tegas, jangan berhenti hanya pada dataran wacana. Masyarakat saat ini sudah lelah dengan janji-janji palsu.
Jika Soekarno dulu berani mengatakan “go to hell with your aid” terhadap IMF. Maka Pemerintah sekarang harus berani mengatakan “tidak!” kepada Singapura. Demi kemaslahatan masa depan bangsa. Dan bagi para pengusaha yang terbukti terlibat dalam bisnis mafia ekspor pasir laut ini, harus segera diproses secara hukum. Ask not what your country can do for you, but ask what you can do for your country?
Pengelolaan dan pemanfaatan pasir laut di Provinsi Riau sudah dimuat dalam Kepres No. 41/1973 tentang penetapan wilayah usaha di Pulau Batam, dan diperkuat lagi dengan Surat Menteri Pertambangan dan Energi No. 370/K/MPE/1985 mengenai kewenangan pihak Otoritas Batam dalam pemberian izin penambangan pasir laut di kepulau tersebut. Kemudian pada 1976 muncul lah tujuh pemain besar dalam bisnis ini: PT Equator Reka Citra, PT Indoguna Yuda Persada, PT Barelang Sugi Bulang, PT Nalendra Bhakti Persada, PT Sangkala Duta Segara, PT Sugi Malaya, dan PT Citra Harapan Abadi, yang kesemuanya menjadi tangan kanan dalam proyek penjualan pasir laut ke Singapura.
Penjualan pasir laut tersebut pun terus berlanjut menjadi ajang bisnis. Para ‘cukong’ terus saja mengeruk pasir yang ada di beberapa pulau kecil di wilayah kepulauan Riau karena tergiur Dollar Singapura, tanpa perduli terhadap kerusakan lingkungan dan mengikisnya batas territorial kita. Karena harga yang harus bayar relatif murah, Singapura pun begitu menikmati bsinis ini.
Berasarkan data Kementerian Kelautan, akibat mengeruk pasir dari Indonesia, wilayah Singapura bertambah sekitar 20 % pada 2001. Luas negara yang melepaskan diri dari Malaysia pada 1965 ini pun bertambah dari 633 menjadi 760 kilometer persegi. Dan kalau melihat data dari Deperindag, diperkirakan lebih 60 % ekspor pasir laut ke Singapura tersebut ilegal. Penambangan pasir ilegal ini menyebabkan dalam satu tahun Indonesia secara ekonomi dirugikan sebesar Rp 2,25 triliun atau sekitar 248,89 juta dollar Singapura–angka yang sangat fantastis!
Proyek-proyek reklamasi yang sudah selesai dikerjakan oleh Singapura diantaranya Lapangan Terbang Changi I dan II, Proyek East Cost, Proyek Tanjung Rhu, Siloso Beach Resort (tempat yang dirancang untuk wisata di Pulau Sentosa). Penambahan wilayah ini dikemudian hari akan berdampak pada semakin luasnya wilayah laut teritorial negara yang berpenduduk 4 juta jiwa tersebut. Artinya, Indonesia sekarang harus bersiap-siap kehilangan pulau-pulaunya yang berada diperbatasan, karena akan masuk ke dalam wilayah territorial Singapura. Atau tenggelam karena kehabisan daratan. Konsekuensi lain yang harus ditanggung Indonesia adalah rusaknya ekosistem dan habitat kelautan. Hal ini tentu akan berdampak langsung terhadap kehidupan para nelayan di kepualaun Riau.
“Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali”. Mungkin hal itu yang lebih tepat dilakukan pemerintah saat ini. Pelarangan penjualan pasir laut dan pasir darat harus dihentikan dari sekarang. Karena ini sudah menyangkut masa depan wilayah teritorial bangsa Indonesia. Pemerintah harus berani mengambil langkah tegas, jangan berhenti hanya pada dataran wacana. Masyarakat saat ini sudah lelah dengan janji-janji palsu.
Jika Soekarno dulu berani mengatakan “go to hell with your aid” terhadap IMF. Maka Pemerintah sekarang harus berani mengatakan “tidak!” kepada Singapura. Demi kemaslahatan masa depan bangsa. Dan bagi para pengusaha yang terbukti terlibat dalam bisnis mafia ekspor pasir laut ini, harus segera diproses secara hukum. Ask not what your country can do for you, but ask what you can do for your country?
Langganan:
Postingan (Atom)
Link
Mengenai Saya
- Mohammad Nizar
- Awalnya aku hanya suka membaca, tapi sejak umur berapa aku sudah tidak ingat lagi. Seiring berjalannya durasi waktu, aku sadar sekedar membaca tidaklah cukup dalam kehidupan yang hanya sesaat ini. Maka, mulailah aku menulis, menulis apa saja yang ingin aku tuliskan, sebab seorang penulis itu seperti seorang arkeolog yang aktivitasnya adalah mengumpulkan atau menggali fosil-fosil yang terpendam dalam tanah. Begitulah aku, akan kutuliskam setiap kali kutemukan penggalan-penggalan realitas yang ku temui di sepanjang ruas jalan kehidupan ini, biar di kehidupan mendatang apa yang ku tuliskan ini bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.